Menulis puisi atau curahan hati, sayang tidak terdokumentasi. Belajar dan menulis ulang pelajaran di sekolahlah yang kulakukan di dalam kamar sehingga dampak positifnya adalah nilai dan prestasiku melambung. Menjadi lulusan terbaik di sekolah dasar, sementara hobi menulis dan membaca puisi pun membawa namaku cukup terkenal. Selalu mengikuti dan memperoleh penghargaan walaupun belum sebagai juara pertama.
Saat caturwulan pertama di sekolah lanjutan pertama, namaku disebut sebagai satu di antara bintang kelas paralel dan dihadiahi sematan bunga di dada. Nah, di situlah namaku cukup diperhitungkan di sekolah sehingga dipilih menjadi delegasi yang mewakili lomba cerdas cermat tingkat kabupaten hingga karesidenan. Hobi berpuisi pun ditindaklanjuti guru Bahasa Indonesia dengan diberi les privat tak berbayar setiap sore. Dengan demikian, menulis dan menulis merupakan lahanku untuk menghilangkan pedih perih.Â
Luka batin yang tak terobatkan memperoleh terapi secara otomatis. Namun, tentu saja jejak luka itu tidak mudah dilupakan begitu saja.
Tak berteman di dunia nyata, tetapi memiliki sahabat pena di seluruh nusantara. Â Karena itu, menulis surat, membalas surat teman, dan membaca aneka cerita mereka, menjadikan hatiku gembira di dalam kesendirian. Ketika kukabarkan kepada sahabat pena bahwa aku hanyalah anak haram belaka, mereka tidak pernah mengolok, mengejek, menghinaku. Namun, mereka justru menyemangatiku.
"Tunjukkan nyalimu!" tulis salah satu teman saat itu.
Entahlah, semuda itu dia bisa menyemangatiku. Tidak seperti teman di dunia nyata yang justru mencibir, merundung melulu. Jadilah duniaku adalah dunia maya jauh sebelum facebook, Instagram, dan yang lain merambah dunia. Â
***
"Cah wedok ki ra sah sekolah dhuwur! Cukup biso masak, macak, lan manak wae! Ra urung sekolah dhuwur yo mlebu dapur!"Â kata Bude Lik, salah seorang putri Kakek dengan istri pertamanya.
Ya, Bude Lik melarangku disekolahkan tinggi-tinggi, sebab menurutnya anak perempuan cukup jika bisa memasak, merias diri, dan memberikan keturunan bagi suaminya. Bude Lik ini ibu tiri, istri ayah kandungku yang sejak awal menolak kehadiranku di dunia. Dia hanya lulusan sekolah lanjutan pertama. Kurasa selain sirik dan iri juga karena faktor x lain sehingga beliau melarangku kuliah.
Akan tetapi, karena aku sadar diri terhadap raihan prestasi hingga menduduki peringkat pertama, tentu saja aku 'tidak terima' dengan larangannya. Aku tetap bersikukuh untuk melanjutkan kuliahku ke perguruan tinggi. Sayang, 'kan? Prestasi yang kuupayakan dengan kerja keras harus pupus dan putus begitu saja?
Nah, saat memperoleh jawaban tersebut, jujur hatiku sangat kesal. Justru aku ingin menunjukkan bahwa 'aku pasti bisa!' Aku  bertekad harus melampaui jauh di atas perolehan keluarga dan putra-putri Bude Lik. Harus! Ya, kata orang Jawa ini wujud dari nglara ati. Bukan sakit hati yang kemudian pesimis dan tanpa aksi. Bukan! Justru sebaliknya, harus mengekspresikan diri, membuktikan kualitas diri! Ikrar diri yang kuikuti dengan berjuta aksi!