"Bagaimana kalau meminta bantuan warga untuk mendirikan rumah sederhana di sini? Semipermanen saja. Toh, lahan ini masih lumayan luas," usul Pak Carik.
"Kan ada Den Binar di samping rumah!" lanjutnya.
"Ya, ya, ... benar. Keamanan pun terjamin kalau ada teman atau tetangga," jelas Pak Carik.
"Okelah. Nanti akan kami siapkan dana pembelian materialnya. Semoga tidak terlalu lama proses pembangunannya," jawab Binar.
"Bagaimana, kamu setuju Non?" tolehnya kepada Ajeng.
Yang ditanya hanya tersenyum tipis dan mengangguk tanda sepakat.
"Sebelum rumah jadi, izinkan saya minta sepasang suami istri yang mau tinggal bersama kami, Pak Kades. Akan digaji sesuai UMR,Â
Pak Kades. Ini saya lakukan agar tidak menimbulkan fitnah dan si Non merasa nyaman!" lanjut Binar.
Terlahir dengan nama Bonar, dia menggantinya menjadi Binar dan nyaman dengan nama barunya yang feminin itu. Ajeng dan Bonar memang saudara sepupu. Karena itulah Ajeng lebih memilih tinggal bersamanya beberapa saat sampai ditemukan titik terang permasalahan yang dihadapinya.
Akhirnya, seiring perjalanan waktu, karena kerja gotong royong, selama semingguan rumah darurat itu jadi. Sederhana saja. Yang penting ada ruang tamu, dua kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Tidak dibuatkan sumur karena air untuk keperluan mandi dan mencuci akan diambil dari rumah Binar yang lebih permanen. Sementara lantainya masih lantai tanah yang disemen saja. Tidak bertegel.
Pasangan Pak Karnadi dan istrinya siap akan tinggal membersamai Ajeng. Pasangan paruh baya yang ditinggalkan anak semata wayangnya merantau ke luar negeri ini, rela meninggalkan rumahnya yang memang sudah tak layak huni. Keduanya malah bersyukur karena ada teman dalam kesehariannya. Rindunya akan anak semata wayang pun teralihkan dengan bekerja melayani Ajeng.