Putra bungsuku, si dokter yang masih berada di Texas, Amerika Serikat, kuberi tahu singkat bagaimana perjalanan perjuanganku melawan gatal. Ahaaa  ... dia malah membalasku dengan agak sewot.
"Mama menyekolahkan aku di kedokteran mahal-mahal, cuma dicritani  tentang pemanfaatan herbal? Kenapa nggak Mama sekolahkan di jurusan tabib saja?"
Dalam hati aku juga ingin tertawa, tetapi aslinya pasti dia kesal padaku. Bagiku yang asli orang desa dan masih tergolong kuno ini, kuakui sih kalau memang gemar sistem herbal begitu. Sama dengan suami ketika kuminta membelikan krim gatal.
"Aku aja pakai daun sirih dan garam bisa sembuh, kok! Coba saja Mama pakai obat, sembuh enggak? Kalau nggak sembuh, pakai saja daun sirih. Ini loh, aku sengaja beli layah (cobek) batu! Coba aja!" tutur suami.
"Loh ... Papa punya layah batu? Kok aku nggak tahu, sih?" heranku.
"Sengaja kusembunyikan biar Mama nggak tahu!" senyum tipisnya merekah. Lucu juga.
"Ah, ternyata benar. Dioles obat tak ada hasil. Dasar orang kuno!" Â senandikaku sambil tersenyum.
Tanggal 20 Mei 2024 putra tengah dari ibu kota mengingatkan, "Jangan lupa siapkan kamar depan, ya Ma! Aku pulang. Soalnya tanggal 22 Â diminta mengajar di Unibraw bareng Mas sulung. Tapi dia ngajarnya online!"
Ternyata, kedatangan bus mepet dengan jadwal sehingga dari pol Damri langsung ke kampus dijemput kawannya. Akhirnya, dia sampai rumah menjelang senja.
"Aduhhh ... capek banget aku, Ma!" tuturnya di senja hari itu.
"Mandi dulu sana, langsung istirahat!" pintaku.