Keesokan harinya, tepat tanggal 23 Mei 2024 pukul 07.00 seorang teman sekolahnya datang ke rumah. Mereka berencana bertiga hendak ke Pantai Tiga Warna, Malang Selatan. Tiket sudah di-booking jauh sebelumnya. Ternyata, salah seorang teman mengundurkan diri karena kesripahan. Pamannya meninggal dunia.
Lima menit sebelum mengetahui  perihal kesripahan temannya itu, ketika di dapur sedang cuci piring aku berpikir.Â
"Aku ini puluhan tahun nggak pernah ke pantai. Suami sering bepergian ke mana pun aku nggak pernah diajak. Putra tengah ini juga begitu. Kalau ke Malang pasti ke pantai, tetapi nggak pernah mengajak!"
Nah, aku iseng bilang mau ikut dan ternyata diizinkan sebagai pengganti salah seorang temannya. Jadilah, aku ikut putra tengah dan sahabatnya. Terpujilah Tuhan. Perjalanan menuju pantai dengan jalan kaki bisa kulewati dengan baik. Artinya, walaupun sambil senantiasa berdoa di dalam hati, aku sampai juga. Padahal, sejujurnya aku jarang berjalan kaki!
Kami berangkat dari Malang pukul 07.00, singgah sarapan di Sitiarjo sebentar. pukul 09.00 sudah sampai di pos pertama. Memarkir kendaraan, melapor, dan koordinasi rute sesuai keinginan putra tengah yang sudah kedua kali mendatangi area itu.
Kami diantar ojek berupa sepeda motor roda tiga alias Viar. Katanya sih Pajero, panas njobo njero, hahaha ... muat tujuh penumpang.
 Setelah sampai di pos, sambil menunggu guide, kami melihat-lihat area hutan mangrove. Ketika guide datang, kami langsung dibawa ke pangkalan perahu.Â
Etape pertama setelah berjalan sekitar satu kilometer, menyusur hutan mangrove dengan perahu dayung.Â
Perahu melintasi area hutan mangrove yang masih alami tanpa sentuhan pembangunan. Ada rumah apung yang bisa disewa di tengah hutan mangrove tersebut. Setelah turun di pangkalan berikutnya, kami harus berjalan kaki sekitar satu kilometeran. Barulah sampai di Pantai Tiga Warna.
Pantainya cukup bagus, pengunjung dibatasi maksimal per hari hanya seratus orang saja. Ada ketentuan pelarangan membuang sampah sehingga praktis pantai itu bebas dari sampah anorganik. Setelah dua jam, kami bertiga diantar guide ke Pantai Gatra. Sampai di sini, sang guide berpamitan karena tugasnya usai.
Beruntung, penjaga pos di Pantai Gatra membantu memindahkan kursi malas agar kugunakan beristirahat sambil menunggu putra tengah dan sahabatnya berkano ria. Pukul 14.09 aku mencoba menghubungi saudara yang tinggal di Sendangbiru. Beberapa saat bisa terhubung aku diminta singgah ke toko. Saudara kami ini cukup terkenal dan terpandang di daerah tersebut. Karena itu beberapa orang memberikan pedoman arah tempat tinggal dan tokonya. Jadi, lumayan mudah mencari alamatnya.