Jadwal-Nya Luar Biasa
Awal Mei 2024. Entah karena apa, aku mengalami gatal-gatal hebat. Awalnya di kaki kiri saja. Biasa, kugosok saja dengan garam dapur. Namun, ternyata secara cepat merajalela ke daerah kedua keti dan selengki. Merah, gatal, panas luar biasa.
Saat mandi, kusemprot saja dengan shower. Bukan hanya hangat, kusetel agak panas. Enak, tetapi sambil nggruguh (mengeluh) kesakitan juga hahaha ... mana ada enaknya, orang sakit beneran. Ya, hanya mengeluh kepada-Nya dengan ucapan khas, "Thanks my Lord for everything!" 'kan karena katanya, "Bersyukurlah dalam segala hal, kan?"
Aku meminta suami membelikan salep obat gatal-gatal dan sabun untuk gatal juga. Habis satu salep kulit, tetapi tidak berpengaruh. Aku minta dibelikan lagi, suami membelikan dua salep dan satu jenis gel. Namun, sama. Tidak ada efek sembuh.
Kumintalah suami mencari atau membawakan daun sirih dari rumah barat. Puji Tuhan, memperoleh segenggam sirih merah saat ikut ibadah di rumah temannya. Langsung kueksekusilah secepatnya. Daun kugunting kecil-kecil dulu, lalu kuremas dengan garam. Setelah keluar air, langsung kuoleskan ke seluruh arena sakit: si keti dan selengki. Aduhai rasanya! Nikmat hahaha ... alias panas sekali.
Daun sirih merah ini lumayan menurunkan kadar rasa gatal. Lalu, kumintalah agar jika keluar lagi suami tidak lupa membawakanku oleh-oleh daun sirih, baik hijau maupun merah. Dalam seminggu itu tiga kali memperoleh daun sirih terapi.
Lalu, aku teringat zaman masih remaja dulu, saat di desa. Saat itu aku menggunakan terong yang kubelah menyerupai perahu. Isi di dalamnya kuganti dengan belerang tumbuk halus. Terong kutangkupkan kembali, kubungkus daun pisang, kukukus. Setelah lima menit, angkat. Saat dingin balurkan belerang yang terikat daging terong itu ke seluruh tubuh. Resep ini pernah kutuliskan di majalah Liberty, kolom 'nampan,' tahun 1995. Ahaha ... lumayan mendapat honor juga loh!
Teringat akan resep sakit kulit ini, entah panu atau jamur, pokoknya gatal membandel, aku pun meminta putra tengah memesankan belerang halus lewat belanja online. Tepatnya tanggal 7 Mei 2024. Dua hari kemudian, pesanan sampai di tanganku.
Sementara, gatal di tempat istimewa belum sembuh. Masih merah merona, tentunya. Ketika bubuk belerang datang, kembali kugosok dengan daun sirih kucampur belerang dan garam. Sambil membayangkan seandainya sempat berendam pada kolam air belerang hangat, kugosoklah seluruh area kulit dengan air rendaman belerang. Belerangnya kugunakan sebagai semacam masker, kugosok-gosokkan agar daki pun rontok. Dalam pikiranku, kalau toh ada jamur, jamur itu bisa rontok juga.
Pada daerah punggung, kuminta suami membalurkannya. Karena tidak mau terkena tangan, beliau memilih menggunakan tisu untuk memindahlan air belerang ke punggung. Ahaha ... terserah sajalah, yang penting berkenan membantu. Sesaat setelah pertama kali dibubuhkan air belerang di punggung, huff ... rasanya sungguh nano-nano. Terasa banget ketika air itu meresap. Dalam bahasa Jawa, "Pating clekit!" Panas seperti ditusuk-tusuk.
Setelah pemakaian belerang, pada minggu kedua gatal mulai mereda. Terpujilah Allah di surga. Dua mingguan didera gatal bukan main, akhirnya sedikit demi sedikit sembuh juga. Dibelikan dua bungkus belerang tumbuk, masih habis setengah bungkus, gatal pun reda dan sembuh.
Putra bungsuku, si dokter yang masih berada di Texas, Amerika Serikat, kuberi tahu singkat bagaimana perjalanan perjuanganku melawan gatal. Ahaaa ... dia malah membalasku dengan agak sewot.
"Mama menyekolahkan aku di kedokteran mahal-mahal, cuma dicritani tentang pemanfaatan herbal? Kenapa nggak Mama sekolahkan di jurusan tabib saja?"
Dalam hati aku juga ingin tertawa, tetapi aslinya pasti dia kesal padaku. Bagiku yang asli orang desa dan masih tergolong kuno ini, kuakui sih kalau memang gemar sistem herbal begitu. Sama dengan suami ketika kuminta membelikan krim gatal.
"Aku aja pakai daun sirih dan garam bisa sembuh, kok! Coba saja Mama pakai obat, sembuh enggak? Kalau nggak sembuh, pakai saja daun sirih. Ini loh, aku sengaja beli layah (cobek) batu! Coba aja!" tutur suami.
"Loh ... Papa punya layah batu? Kok aku nggak tahu, sih?" heranku.
"Sengaja kusembunyikan biar Mama nggak tahu!" senyum tipisnya merekah. Lucu juga.
"Ah, ternyata benar. Dioles obat tak ada hasil. Dasar orang kuno!" senandikaku sambil tersenyum.
Tanggal 20 Mei 2024 putra tengah dari ibu kota mengingatkan, "Jangan lupa siapkan kamar depan, ya Ma! Aku pulang. Soalnya tanggal 22 diminta mengajar di Unibraw bareng Mas sulung. Tapi dia ngajarnya online!"
Ternyata, kedatangan bus mepet dengan jadwal sehingga dari pol Damri langsung ke kampus dijemput kawannya. Akhirnya, dia sampai rumah menjelang senja.
"Aduhhh ... capek banget aku, Ma!" tuturnya di senja hari itu.
"Mandi dulu sana, langsung istirahat!" pintaku.
Keesokan harinya, tepat tanggal 23 Mei 2024 pukul 07.00 seorang teman sekolahnya datang ke rumah. Mereka berencana bertiga hendak ke Pantai Tiga Warna, Malang Selatan. Tiket sudah di-booking jauh sebelumnya. Ternyata, salah seorang teman mengundurkan diri karena kesripahan. Pamannya meninggal dunia.
Lima menit sebelum mengetahui perihal kesripahan temannya itu, ketika di dapur sedang cuci piring aku berpikir.
"Aku ini puluhan tahun nggak pernah ke pantai. Suami sering bepergian ke mana pun aku nggak pernah diajak. Putra tengah ini juga begitu. Kalau ke Malang pasti ke pantai, tetapi nggak pernah mengajak!"
Nah, aku iseng bilang mau ikut dan ternyata diizinkan sebagai pengganti salah seorang temannya. Jadilah, aku ikut putra tengah dan sahabatnya. Terpujilah Tuhan. Perjalanan menuju pantai dengan jalan kaki bisa kulewati dengan baik. Artinya, walaupun sambil senantiasa berdoa di dalam hati, aku sampai juga. Padahal, sejujurnya aku jarang berjalan kaki!
Kami berangkat dari Malang pukul 07.00, singgah sarapan di Sitiarjo sebentar. pukul 09.00 sudah sampai di pos pertama. Memarkir kendaraan, melapor, dan koordinasi rute sesuai keinginan putra tengah yang sudah kedua kali mendatangi area itu.
Kami diantar ojek berupa sepeda motor roda tiga alias Viar. Katanya sih Pajero, panas njobo njero, hahaha ... muat tujuh penumpang.
Setelah sampai di pos, sambil menunggu guide, kami melihat-lihat area hutan mangrove. Ketika guide datang, kami langsung dibawa ke pangkalan perahu.
Etape pertama setelah berjalan sekitar satu kilometer, menyusur hutan mangrove dengan perahu dayung.
Perahu melintasi area hutan mangrove yang masih alami tanpa sentuhan pembangunan. Ada rumah apung yang bisa disewa di tengah hutan mangrove tersebut. Setelah turun di pangkalan berikutnya, kami harus berjalan kaki sekitar satu kilometeran. Barulah sampai di Pantai Tiga Warna.
Pantainya cukup bagus, pengunjung dibatasi maksimal per hari hanya seratus orang saja. Ada ketentuan pelarangan membuang sampah sehingga praktis pantai itu bebas dari sampah anorganik. Setelah dua jam, kami bertiga diantar guide ke Pantai Gatra. Sampai di sini, sang guide berpamitan karena tugasnya usai.
Beruntung, penjaga pos di Pantai Gatra membantu memindahkan kursi malas agar kugunakan beristirahat sambil menunggu putra tengah dan sahabatnya berkano ria. Pukul 14.09 aku mencoba menghubungi saudara yang tinggal di Sendangbiru. Beberapa saat bisa terhubung aku diminta singgah ke toko. Saudara kami ini cukup terkenal dan terpandang di daerah tersebut. Karena itu beberapa orang memberikan pedoman arah tempat tinggal dan tokonya. Jadi, lumayan mudah mencari alamatnya.
Putra tengah bersama temannya bermain kano. Mereka mengambil kano untuk berduaan. Sementara, aku tinggal beristirahat di pantai. Beruntung masih tengah hari sehingga air masih pasang. Ketika air mulai surut, tepat sekitar pukul 15.00 -an mereka berdua sudah puas berkano ria. Kami pun meluncur ke tempat parkir mobil. Namun, jarak antara Pantai Gatra dengan pos parkir sekitar tiga kilometer. Kami berjalan kaki sekitar satu kilometer dan dijemput ojek Viar kembali. Kali ini kami naik ojek bersama penumpang lain. Sampailah kami di tempat parkir kendaraan.
Terpujilah Tuhan, bertemu si istri yang sedang jaga toko. Kami sangat lama tidak bertemu. Sejak pandemi Covid-19 silam. Jadi sekitar lima tahunanlah!
Putra tengah meminta diantar ke pasar ikan, eh ... malah kepada kami bertiga disajikan ikan bakar dan cumi-cumi secara cuma-cuma. Senja hari itu kami makan di rumah saudara dengan menu ikan bakar yang tidak kami rencanakan sebelumnya.
"Ada ibadah, loh. Nginap saja di sini, ikutan ibadah dulu!" kata si empunya rumah.
Namun, teman putra tengah tidak bisa karena tidak izin orang tuanya untuk menginap. Dengan demikian, aku ditinggal untuk ikut ibadah persekutuan doa, sementara putra tengah dan sahabatnya pulang ke Malang malam itu.
Terpujilah Allah pada saat ibadah, aku bisa bersaksi tentang karya Allah di dalam hidupku. Luar biasa. Ternyata Tuhan mempunyai rencana sangat indah! Hari itu perjalananku yang tidak kurencanakan sebelumnya ditata-Nya sedemikian rupa. Meskipun tanpa persiapan, aku menginap semalam di Sendangbiru. Bagaimana dengan baju? Ahaha ... langsung dipinjami, dong!
Keesokan harinya, aku pulang nebeng putra kedua saudaraku yang mengirimkan pesanan ikan dan udang ke Malang. Aku sungguh bersyukur karena jadwalku itu ditata Tuhan sedemikian rupa. Perjalanan tersebut dalam kondisi gatal kronisku sudah disembuhkan-Nya. Luar biasa pokoknya!
"Rencana Tuhan memang lebih indah, kan? Pas Mama sudah sembuh, dihadiahi healing ke Sendangbiru. Apalagi ikutan ibadah!" kata suami.
Malang 27 Mei 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H