Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Damar Derana (part 17)

22 Mei 2024   03:53 Diperbarui: 22 Mei 2024   08:54 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B


Ada Cerita Lain

Malam itu mereka berdua tidak bisa memicingkan mata. Nadya sangat bingung. Jika diingat betapa suami telah berselingkuh dengan kemenakan sendiri, ingin rasanya Nadya membalas dengan hal yang sama. Apalagi ada kesempatan di depan mata. Namun, ia masih sadar sesadar-sadarnya bahwa itu bukan merupakan solusi bijak.


Apalagi sudah sekian lama suami tidak menafkahi secara batin dan baru diketahui tiga bulan lalu kalau suami telah berselingkuh. Sejak hal itu diketahui, Nadya sudah tidak berselera lagi melayani kebutuhan suami. Apalagi dia sendiri yang meminta agar suami melayani kebutuhan dan  nafkah batin Vivi yang sedang mengandung itu. Pikirnya, jika Vivi mendapat perlakuan ekstra, dia tidak merasa ketakutan saat melahirkan nanti.


Detik ini ia harus seranjang dengan Pambudi. Sementara Pambudi pun tidak bisa memejamkan netra. Dilihatnya Nadya yang gelisah. Maka, dipeluklah Nadya dan dibisikkan kata-kata yang menghibur dan memotivasi agar Nadya tetap tabah, sabar, dan kuat.


Pambudi yang tidak terbiasa tidur seranjang dengan perempuan mana pun, sejatinya cukup grogi juga. Namun, manakala dilihat kegelisahan Nadya, dicoba untuk melakukan pijat refleksi agar Nadya merasa tenang dan nyaman. Untunglah dia sedikit banyak menguasai akupunktur dan akupressur.


Dipijitnya dengan lembut mulai dari jari-jemari tangan Nadya, lalu ke kaki.


"Mas, ahh ... sakit banget!" teriaknya tatkala titik-titik tertentu dipijit.

"Aku nggak tahan kesakitan, Mas!" keluhnya.


"Ok. Siap kucari titik nyaman saja, ya!" lanjut Pambudi.


"Jika nggak sakit aku mau dipijit. Jika sakit, nggak mau! Sakitnya terasa sampai ubun-ubun, tau, Mas!" dalihnya.


Akhirnya Pambudi berhasil membuat nyaman. Dia tidak menyentuh titik yang menyakiti, tetapi memijit  agar lemas saja otot kaku di seputaran betis. Dilumuri dengan minyak balur yang disiapkan hingga Nadya merasa hangat menjalari kaki. Aroma terapi minyak tersebut membuat syaraf tegang semakin tenang.


Kini justru Pambudi bergerilya membuat Nadya semakin nyaman dan antusias menerima pijitan lembut. Namun, tiba-tiba ia pun tidak tahan melihat sesuatu pada netra Nadya. Ia yakin, Nadya membutuhkan bukan sekadar sahabat, melainkan seseorang  yang bisa dibawa meraih asa.  

Sebagai sahabat sejak lama, Pambudi yakin pasti sudah lama Nadya tidak memperoleh jatah nafkah batiniah pula. Dengan keluh memelas dan setengah mengiba, Nadya bersimpuh sikap berdoa. Lalu memeluk guling sambil netra sejenak memejam, selanjutnya menerawang jauh. Tatap kosong mengharu biru. 

"Tuhan, hamba ingin tidak lagi memperoleh cap wanita mandul yang malang," sedih lirih dalam sendu.

"Apa?" selidik Pambudi ingin mengetahui keluh itu.

"Aku ingin menjadi wanita seutuhnya. Aku ingin bisa memperoleh keturunan, memberikan keturunan," jawab Nadya tegas.

"Yakin, siap?"

Nadya mengangguk.

"Ini bukan balas dendam, kan?"

Nadya menggeleng. Netranya berembun. 

"Aku siap, Nok!"

Akhirnya, kedua sejoli itu dengan sadar melakukan sesuatu. Mereka tahu dan sadar hal itu  melanggar. Akan tetapi yang semula tampak ditahan sekuat tenaga, kini harus dinyatakan sejelas-jelasnya. Pambudi paham apa yang harus dilakukan.


Ia bisikkan bahwa sejak dahulu sangat mencintai dan mendambakan Nadya mendampingi hidupnya, tetapi kalah cepat. Karena itu  sengaja ia membuang diri ke luar negeri dengan maksud agar mampu melupakan Nadya. Ia mengaku hal itu tak mampu dilakukannya. Namun, doanya dikabulkan Allah. Ya, ia berdoa agar dipertemukan dengan Nadya kembali. Ia ingin merebut cinta yang hilang. Siapa sangka Tuhan mempertemukan dengan sedemikian rupa. 

Nadya terkesiap saat mendengar bahwa dirinyalah wanita yang telah membuat Pambudi tidak menikah hingga saat ini. Ia yakin bahwa Pambudi tidak sedang berbohong.


Perlahan Nadya pun membuka diri dan hati untuk menerima kembali cinta Pambudi. Nadya memohon maaf telah meninggalkannya sekian lama. Sungguh, ia tidak mengetahui bahwa sebegitu rupa Pambudi berupaya melupakannya. Tak urung, merembeslah tirta netra mulai berlelehan di pipi.

Secara tidak langsung, dipersilakannya Pambudi melakukan sesuatu yang selama ini ditahan. Sambil meminta maaf jika selama ini tidak pernah mengetahui akan ketulusan cintanya. Maka  kali ini ia persembahkan hati, jiwa, dan raga kepada seseorang yang tulus mencintai itu: Pambudi. Nadya berjanji akan menjaga ketulusan cinta Pambudi tersebut dengan membalas kesetiaannya.

***

Kokok ayam telah terdengar sayup-sayup. Mereka telah menyelesaikan suatu babak yang menentukan masa depan dengan sangat lembut. Pambudi tahu bagaimana membuatnya terlena. Maka, suara ayam yang berkokok menjadi saksi bisu atas kebahagiaan mereka berdua.


Tepat jam tiga dini hari, gawai Nadya berdering nyaring kembali. Namun, ia tetap bergeming. Bersama Pambudi direngkuhlah malam hingga pagi itu dengan sepenuh perasaan. Kini, dilihatnya Pambudi terbuai mimpi. Tampak kelelahan di sisinya setelah beberapa saat sebelumnya berusaha sekuat tenaga untuk meraih bintang. Sebutir paling terang dipersembahkan kepada dirinya hingga kata bahagia benar-benar terjelma. 

Kini bintang bintang teraih  itu telah ada di dalam genggaman. Tinggal bagaimana ke depan menghadapinya berdua. Nadya tidak banyak berpikir. Seperti kata Pambudi, dia akan mencoba mengalir saja mengikuti takdir. Maka dengan tersenyum simpul dibukalah gawainya.


Nadya sangat ingin kali ini Tuhan mengabulkan doanya, membuka rahimnya, dan menerima benih yang telah disemai  dengan mujizat-Nya. Dia merintih dalam doa semoga apa yang telah mereka lakukan menjadikannya momen yang indah. Suatu titik balik yang justru membahagiakan. 

"Izinkan hamba berbadan dua, ya, Tuhan ...!" rintih tangisnya.

*** 


Dilihat gawai dan beberapa pesan yang masuk.


"Maa ... sakit sekali Maaa ...!" tulis Vivi dengan emoticon menangis.


"Ma, kamu di mana?" tanya suaminya dengan emoticon khawatir.


"Hmm ... biarlah aku hilang dari hidupmu, Mas. Berbahagialah kau dengan Vivi yang telah memberimu buah cinta. Sementara, aku hendak meraih bulan bersama Mas Pambudi. Kali ini aku tidak sengaja telah membalaskan sakit hatiku, Mas. Ya, aku telah berlaku tidak setia sebagaimana yang kaulakukan padaku sembilan bulan lalu!" senandikanya lirih.  


Nadya tertidur setelah matanya kelelahan menangis.

***

Meraih Asa

"Selamat pagi, Nok!" sapa Pambudi lembut sambil mencium kening. "Terima kasih, ya! Boleh nggak ... lagi?" senyum Pambudi mengembang sempurna.


Nadya masih belum sadar betul dari bangun tidurnya, tetapi ia seulas senyum tipis mengembang juga. Perlahan ia menggangguk tanda setuju. Mereka kembali melanglang ke luar angkasa demi meraih gemintang cemerlang. Kali ini pesawat luar angkasa yang ditumpangi jauh lebih progresif daripada sebelumnya. Nadya pun terpekik manakala pesawat bermanuver dan menukik. Bintang itu berhasil digapainya. 

Pambudi tak kalah arah.  Ia tidak menyangka  mereka bisa meraih kembali sebutir bintang  lain. Tak sia-sia upaya terbaik yang dilakukannya. 

"Thanks God ... !" ujarnya lirih.

Bersambung 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun