Kini justru Pambudi bergerilya membuat Nadya semakin nyaman dan antusias menerima pijitan lembut. Namun, tiba-tiba ia pun tidak tahan melihat sesuatu pada netra Nadya. Ia yakin, Nadya membutuhkan bukan sekadar sahabat, melainkan seseorang  yang bisa dibawa meraih asa. Â
Sebagai sahabat sejak lama, Pambudi yakin pasti sudah lama Nadya tidak memperoleh jatah nafkah batiniah pula. Dengan keluh memelas dan setengah mengiba, Nadya bersimpuh sikap berdoa. Lalu memeluk guling sambil netra sejenak memejam, selanjutnya menerawang jauh. Tatap kosong mengharu biru.Â
"Tuhan, hamba ingin tidak lagi memperoleh cap wanita mandul yang malang," sedih lirih dalam sendu.
"Apa?" selidik Pambudi ingin mengetahui keluh itu.
"Aku ingin menjadi wanita seutuhnya. Aku ingin bisa memperoleh keturunan, memberikan keturunan," jawab Nadya tegas.
"Yakin, siap?"
Nadya mengangguk.
"Ini bukan balas dendam, kan?"
Nadya menggeleng. Netranya berembun.Â
"Aku siap, Nok!"
Akhirnya, kedua sejoli itu dengan sadar melakukan sesuatu. Mereka tahu dan sadar hal itu  melanggar. Akan tetapi yang semula tampak ditahan sekuat tenaga, kini harus dinyatakan sejelas-jelasnya. Pambudi paham apa yang harus dilakukan.