"Bagaimanapun aku senang karena sebentar lagi aku akan menimang anak! Aku akan menjadi seorang ayah, Dik!" lanjutnya sambil tetap berada di kaki Nadya.
Mengurai pelukan suami di kakinya itu, Nadya berucap tegas, Â "Kalau begitu kita harus segera mencari jalan keluar Mas, sebelum segala sesuatu menjadi buruk. Menurutku, bagaimana kalau kita pindah ke luar kota untuk menyembunyikan ini semua? Nanti kalau Mas misalnya mau menikahi Vivi, tetangga kita sudah berbeda sehingga tidak ada suara sumbang. Bagaimana?"
"Adik ikhlas jika Mas menikahi Vivi?"
"Harus! Kasihan Vivi dan baby-nya jika Mas tidak menikahinya!"
"Terima kasih, Dik!" kata suaminya sambil memeluknya erat-erat.
"Dengan menikahinya, Vivi pun aman. Artinya, rasa malu atau takutnya akan terkikis seiring kejelasan status saat menunggu kelahiran si baby itu. Biarlah aku akan tetap mendampingi, tetapi kita harus pindah tempat. Lalu, sementara Vivi status terminal dahulu. Kelak sesudah melahirkan, kita pindahkan sekolahnya asal dia masih mau bersekolah. Jika dia tidak mau bersekolah lagi, ya sudah biar mengurusi baby-nya saja!"
"Sekali lagi terima kasih atas pengertian Adik!" katanya sambil mengusap air mata yang tiba-tiba merembes dari netra.
"Sekarang, Mas harus ke kamar Vivi!" pinta Nadya, "Lakukan sesuatu yang menentramkan hatinya agar dia tidak takut, malu, dan cemas! Vivi belum paham kalau dia sedang hamil, Mas! Cepat ke sanalah! Abaikan perasaanku! Vivi lebih penting saat ini!"
Sebenarnya di dalam hatinya bergejolak. Hatinya sangat sakit. Namun, itu semua ditahan demi keutuhan dan ketenangan rumah tangganya. Segera sang suami pun melompat  menuju kamar Vivi. Ditinggalkannyalah sang istri yang tergugu dan harus menelan pil pahit seorang diri. Hatinya hancur, sehancur-hancurnya!Â
bersambungÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H