Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 171 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tak Pernah Kuduga

6 Mei 2024   20:16 Diperbarui: 7 Mei 2024   03:40 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

TAK PERNAH KUDUGA

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Dua puluh tahun silam. Aku memiliki seabreg aktivitas, baik di dalam maupun di luar rumah. Sebagai seorang ibu tiga cowok, tentu saja selain berdinas sebagai PNS, aku berkegiatan bebersih rumah. Ini karena dua putra cowokku sudah berada di ibukota, dan bungsu berada di rumah lain. Mereka sudah tidak bisa membantuku lagi. Semua harus kulakukan sendiri. Bebersih dan beberes rumah dengan memindahkan perabotan agar berganti suasana. Juga aktivitas bersama ibu-ibu di RT seminggu sekali untuk bermain badminton di halaman samping rumah kami.  

Bungsuku sedang melakukan tugas coas di rumah sakit umum kota kami. Tetiba tangan kananku jika digerakkan terasa sakit. Itu terjadi setelah bebersih rumah, memindahkan barang-barang berat seperti: almari, rak mainan, ditambah lagi dengan intens-nya berlatih badminton menjelang pertandingan antaribu rumah tangga di RW kami. Aku kabarkan kepada bungsu bahwa ketiak kananku  mlanjer  (bhs Jawa: ada benjolan) karena aktivitas tersebut.

"Sakit enggak?" tanyanya.

"Sedikit nyeri, nggak enaklah!"  keluhku.

Maka aku disarankan untuk memeriksakan diri agar segera tertangani. Mumpung dia masih bertugas ada di sana katanya. Aku pun bersegera mengurus rujukan untuk bisa memeriksakan diri secara lebih detail.

Izin tidak masuk kantor untuk memeriksakan diri ke rumah sakit umum itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Berangkat pagi dengan antrean panjang mengular dimulai dari mengambil rujukan di klinik, lalu lanjut ke rumah sakit umum yang sebenarnya tinggal menyeberang jalan saja. Namun, karena menunggu antrean yang cukup lama, dengan kondisi rumah sakit yang dipenuhi manusia berbagai macam kondisi seperti itu ada juga rasa tidak nyaman di hati ini. Jika tidak penting, rasanya tidak ingin mengulangnya.

Hari ini untuk kedua kalinya aku izin berobat dan sampailah pada bagian yang harus kudatangi. Ya, siang itu aku sedang mengantre di bagian onkologi. Setelah berputar-putar, bertanya ke sana kemari, sampailah aku di ruangan ini. Cukup sulit menemukannya! Apalagi kondisi rumah sakit sedang renovasi besar-besaran.

Semua rekomendasi bungsuku ini kulakukan agar dia tidak mengkhawatirkan keadaanku. Tahu, 'kan bagian apa onkologi itu? Tentulah masalah tumor hingga kanker yang ditanganinya.

Ada kulihat beberapa pasien yang menurutku sangat memprihatinkan. Dua orang ibu yang duduk bersebelahan denganku sama-sama telah diangkat sebuah payudaranya. Mereka sedang kontrol. Lalu, seorang bapak dari tempat yang jauh, usia lima puluhan dengan rahang berlubang karena menderita kanker. Semula tak kuketahui mengapa sebuah saputangan menutupi wajahnya. Kata seorang ibu yang mengantarnya memang dia perokok berat sejak usia  muda. Kini takdapat lagi berbicara dan dengan kondisi muka yang cacat. Aku mengetahui semua itu, karena aku memang tidak segan-segan bertanya kepada para pengantarnya. Sambil membuang jenuh, menambah pengetahuan juga! Meskipun, maaf, ada juga yang membuat perutku mual karena bau obat yang cukup menyengat.

Lalu tetanggaku sebelah rumah juga kutemukan di sana. Dia berdinas di rumah sakit itu. Kukira tempat tugasnya memang di situ, tetapi setelah kutanyakan kepada petugas yang lain, dia pun ternyata sedang berobat dan rawat jalan. Tetanggaku itu entah malu, menahan rasa sakit, atau bagaimana aku tidak tahu. Yang jelas dia tidak menyapaku walau aku sudah berusaha menganggukkan kepala dan pasang muka manis,  siap ingin menyapanya. Aku tidak berpikir bahwa dia pun menjadi pasien di sana.

Cuaca panas membuatku sedikit gerah. Sementara di dalam hatiku sendiri bergejolak. Walau ada sedikit kecemasan, aku berusaha berdoa, berpasrah diri, dan bermohon agar kondisi kesehatanku tidak bermasalah. Justru karena ingin mengetahui kondisi diri inilah aku harus beberapa kali ke rumah sakit itu. Dan saat sampai di ruang periksa, bersyukur kepada Tuhan, dokter menyatakan tidak bermasalah. Dokter menanyakan mengapa sampai di tempat itu, dan aku  pun mengaku bahwa semua atas inisiatif bungsu. Ternyata, dokter pembantunya mengenaliku. Dia adalah putra temanku dan sebagai kakak buku bungsuku di kampusnya.

Ya, di kampus si bungsu di bawah bendera persekutuan doa kampus, ada diwajibkan setiap calon dokter memiliki kakak dan adik buku. Artinya, jika kita berada di semester tiga, kita harus meminjamkan buku catatan kita untuk adik kelas yang di semester satu. Demikian pula kita akan memperoleh pinjaman buku-buku catatan dari kakak kelas kita yang di semester tiga. Kakak dan adik buku ini akan berlanjut hingga masing-masing telah lulus sebagai dokter. Sungguh kerja sama yang luar biasa hebat. Dampaknya luar biasa. Rukun, guyub, dan tetap bersilaturahmi sampai kapan pun dan di mana pun! Upaya yang patut diacungi jempol!

Setelah menerima jawaban dokter, bukan main senang hatiku. Lega rasanya. Bukan hanya karena pusing masalah menata waktu dengan mengantre, melainkan juga kehilangan waktu dan tenaga dengan meninggalkan sekian siswa di sekolah. Tanggungan yang takboleh ditangguhkan! Lega, kondisi kesehatanku tidak bermasalah. Dan lega pula karena tidak harus mengantre seperti itu lagi!

Karena laparnya, aku pun menuju kantin. Kutanyakan tempat kantin yang  lumayan kepada beberapa tukang parkir di sana. Kemudian ditunjukkannya satu kantin tertentu.

Saat makan siang di sebuah kantin itu, aku melihat seorang ibu yang sepertinya pernah kukenal. Wajahnya begitu familiar di mataku. Ternyata, beliau satu gereja denganku. Gereja sebelum aku berpindah tempat di gerejaku yang sekarang. Maka, iseng kutanyakan kepada ibu kantin, dan diceritakanlah bahwa ibu ini putranya sudah beberapa bulan dirawat di sana.

Setelah selesai makan, aku bertanya ini itu kepada ibu itu dan pada akhirnya menanyakan apakah diizinkan mengunjungi putranya. Beliau menyetujuinya. Lalu dengan percaya diri, aku mengikuti si ibu memasuki ruang tempat putranya dirawat.

Saat mendekati ranjang pasien, tiba-tiba pasien berteriak lantang, "Buuu ... Ibu, Bu Nina, kan? Saya murid ibu di SMA Bintang!"

Mukanya berbinar walau aku taktahu siapa. Secara fisik, badannya sudah habis tinggal kulit pembalut tulang. Betisnya sangat kecil, kaki keseluruhan tidak proporsional lagi. Maaf, bengkok sebelah. Mukanya tirus seperti orang tua berumur enam puluhan.

Belum hilang keterkejutanku, dokter visite datang berkunjung ke ruangan pula. Aku belum menjawab apa-apa. Masih kebingungan. Dokter itu langsung melihat padaku sambil mengernyit, "Nah, ini Bu Nina, kan? Guru SMA favorit di kota kita ini?"

Lalu kepada pasien dikatakan begini, "Dim. Ini guru SMA-ku!"

Si pasien menjawab, "Guruku juga, Bert!"

"Oh, ...!" aku hanya terbengong-bengong. Tiba-tiba tanganku ditarik oleh Dokter Albert, si dokter  mantan siswaku dari sekolah favorit. Aku memang mengajar di beberapa sekolah sehingga tentu  saja banyak mantan siswaku.

"Sebentar, Dim. Aku perlu dengan Bu Nina!" teriaknya kepada pasien dan kemudian membimbingku keluar dari ruangan.

"Bu, ikut saya sebentar, ya!" ajaknya mesra.

Aku tersenyum tetapi tetap masih berada dalam kondisi kebingungan.

Setelah di luar ruangan, dokter berkata lembut padaku, "Bu, ada apa Ibu kemari?"

"Memeriksakan diri ke onkologi!" jawabku.

"Ada keluhan apa?" aku pun menceritakan singkat dan dijawabnya tersenyum. "Syukurlah, semua baik-baik saja! Nah, sekarang Ibu boleh pulang. Jangan menjenguk ke sini lagi, ya Bu! Salam hormat saya. Semoga Ibu sehat selalu!" aku diantarnya sampai ujung koridor.

Aku terbengong-bengong saja dari tadi. Lalu sesuai pesannya aku pun pulang tanpa menoleh lagi. Di sepanjang jalan aku berusaha keras mengingat-ingat siapa si pasien tadi. Sempat kulihat papan nama pasien tertulis: Dimas. Itu saja. Ibunya pun diam saja dengan wajah kuyu.

Sampai di rumah, karena aku tidak serumah dengan bungsuku yang kuliah di kedokteran itu, aku kabarkan lewat telepon apa yang terjadi siang tadi di rumah sakit. Tahu, apa tanggapannya?
"Ma ... Mama ini ceroboh! Sangat!" katanya memarahiku.

"Niatku hanya ingin berdoa untuk pasien!" alasanku mantap, bukan?

"Mama tahu.. itu ruangan apa?" tanyanya.

"Ruang 28!" jawabku.

"Tahu tidak itu ruangan apa? Mama ngapain aja di situ? Ada menyentuh pasien? Bersalaman?" kejarnya.

Aku ceritakan apa adaanya seperti yang kualaami sebelumnya. Di situ ada dua pasien cowok, tapi aku belum sempat mengapa-mengapa. Datang langsung disambut teriakan pasien yang bilang aku gurunya, lalu dokter visite yang juga datang hampir bersamaan denganku. Dokter ini pun mengakui bahwa aku gurunya. Selanjutnya, ia langsung membimbingku ke luar ruangan.

"Siapa dokter visitenya?" tanya bungsuku.

"Albert ...!" kataku singkat.

"Ok. Besok akan kujumpai beliau di rumah sakit.  Kali lain jangan sembarangan besuk orang, ya Ma!" pesannya wanti-wanti.

Aku masih belum mengerti mengapa tidak boleh berkunjung.

"Ya, sudah kapan-kapan kuberi tahu. Aku ada acara ini!"  kata bungsuku mengakhiri pembicaraan.

Tiga hari kemudian telepon dari rumah barat masuk ke gawaiku. Kulihat bungsu sedang memanggil.

"Ya, Nak!"

"Ma ... hari ini ... mmmm," katanya sangat lambat, cukup membuatku penasaran,  "yang Mama kunjungi tempo hari itu ... mmm ... meninggal dunia!"  katanya sengaja diperlama, diperlambat, dan diperpelan.

Ya, Allah. Aku terperanjat. "Mama sudah ingat, dia siapa?" lanjutnya.

"Ooohh, ...! Ya, aku ingat. Dua belas tahun lalu dia muridku di SMA Bintang. Dia punya grup band yang disegani. Selain ganteng, dia juga baik kepada teman! Tapi kondisinya kok berbalik 180 derajat, ya! Aku sampai tidak mengenalinya lagi!" ceritaku setelah mengingat-ingat si pasien.

"Mama tahu dia sakit apa?" tanyanya menyelidik.

"Enggak!" jawabku.

"Ma, murid Mama itu ODHA! Orang dengan HIV/Aids! Mangkanya Mama langsung disuruh pulang oleh dr. Albert. Dan itu ruangan isolasi, Ma!" urainya detail.

"Oh, my God!" lemas seluruh tulang-tulangku. Teringat saat Dimas dan kelompoknya masih berjaya di sekolah. Memang termasuk grup yang terkenal berani dan tergolong anak-anak orang berada yang nakal dan bandel. Jika katanya band-nya sedang ada job,  mereka berlima tidak masuk. Sudah diingatkan, orang tuanya pun sudah dihubungi, tetapi tetap saja tidak berubah.

"Makanya kapan hari dr. Albert meminta Mama dengan sangat santun karena dipikir pasti Mama nggak paham. Dan ternyata benar, kan? Mama nggak ngerti kalau dia itu pasien isolasi. Artinya, tidak boleh dikunjungi, Ma! Takutnya tertulari! Karena lendir, liur, darah, keringat bisa jadi membuat orang lain tertular! Maka aku tanya apa Mama bersalaman? Untunglah Tuhan mengirim dr. Albert yang langsung menyelamatkan Mama dengan memaksa Mama secara halus untuk keluar dari ruangan!" katanya rinci.

"Oohh!"

"Makanya, jangan sembarangan! Tanyakan dulu ke petugas, boleh dikunjungi apa tidak! Jangan diulangi lagi, ya, Ma!" jelasnya, "Aku pun sudah menemui dr. Albert. Aku sudah berterima kasih padanya! Ada salam darinya buat Mama!" lanjutnya.

Aku cuma manggut-manggut. Bodohnya aku! Tak terpikir olehku kalau putra ibu itu mantan muridku dan terkena HIV/Aids sehingga berbulan-bulan dirawat di sana. Aku hanya iba melihat betapa tampak sedih ibundanya. Itulah mengapa aku tergerak dan terbeban untuk mendoakannya.

Kembali memoriku mengingat masa-masa Dimas bersekolah. Ternyata kelima kelompoknya itu, setelah kutanyakan kepada teman seangkatan yang kebetulan masih ada kusimpan nomor WA-nya, semuanya berakhir dengan nasib kurang beruntung. Dimas, menderita HIV/Aids selama beberapa tahun hingga meninggal dunia. Satu lagi pasangan suami istri masih berada di dalam sel penjara karena memperdagangkan obat terlarang. Kondisi mereka juga harus direhabilitasi karena ketergantungan. Dua yang lain pun dikabarkan menderita sakit berkepanjangan. Semua gegara obat terlarang yang dikonsumsinya sejak muda.

Ohh, iya. Bagaimana mengenai tetanggaku yang kukira sombong? Ternyata  beberapa saat kemudian kuketahui setelah melakukan operasi pengangkatan payudaranya yang sebelah, dia pun tutup usia. Dia meninggal dunia ketika dua putranya masih bersekolah di SD. Aku pikir saat itu dia sedang menyembunyikan penderitaannya dariku.

Mungkin dia tidak mau aku mengetahui penyakitnya! Entah malu atau karena apa. Maka, ini pembelajaran juga buatku: aku tidak boleh berprasangka negatif kepada siapa pun!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun