Si pasien menjawab, "Guruku juga, Bert!"
"Oh, ...!" aku hanya terbengong-bengong. Tiba-tiba tanganku ditarik oleh Dokter Albert, si dokter  mantan siswaku dari sekolah favorit. Aku memang mengajar di beberapa sekolah sehingga tentu  saja banyak mantan siswaku.
"Sebentar, Dim. Aku perlu dengan Bu Nina!" teriaknya kepada pasien dan kemudian membimbingku keluar dari ruangan.
"Bu, ikut saya sebentar, ya!" ajaknya mesra.
Aku tersenyum tetapi tetap masih berada dalam kondisi kebingungan.
Setelah di luar ruangan, dokter berkata lembut padaku, "Bu, ada apa Ibu kemari?"
"Memeriksakan diri ke onkologi!" jawabku.
"Ada keluhan apa?" aku pun menceritakan singkat dan dijawabnya tersenyum. "Syukurlah, semua baik-baik saja! Nah, sekarang Ibu boleh pulang. Jangan menjenguk ke sini lagi, ya Bu! Salam hormat saya. Semoga Ibu sehat selalu!" aku diantarnya sampai ujung koridor.
Aku terbengong-bengong saja dari tadi. Lalu sesuai pesannya aku pun pulang tanpa menoleh lagi. Di sepanjang jalan aku berusaha keras mengingat-ingat siapa si pasien tadi. Sempat kulihat papan nama pasien tertulis: Dimas. Itu saja. Ibunya pun diam saja dengan wajah kuyu.
Sampai di rumah, karena aku tidak serumah dengan bungsuku yang kuliah di kedokteran itu, aku kabarkan lewat telepon apa yang terjadi siang tadi di rumah sakit. Tahu, apa tanggapannya?
"Ma ... Mama ini ceroboh! Sangat!" katanya memarahiku.
"Niatku hanya ingin berdoa untuk pasien!" alasanku mantap, bukan?