Bila si Belo Belalang Bertapa
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Fajar menyingsing di ufuk timur dengan indahnya. Kuning jingga bersembur merah menyala jauh di timur sana. Kawanan hewan pun sudah terbangun dari tidurnya. Seekor belalang bernama Belo masih bertengger di balik daun ilalang di sebuah taman.
"Masih dingin," begitu kata hatinya. "Baiklah aku diam saja di sini dahulu sampai matahari menghangatkan sayapku!" senandika alias katanya di dalam hati.
Tiba-tiba melintaslah seekor kupu-kupu yang hendak mencari madu bunga liar. Demi dilihatnya belalang yang masih diam, kupu-kupu bernama Kupi menyapanya dengan suara halus, "Selamat pagi, Belo sahabatku!"
"Pagi juga kupu jelita!" jawab Belo sambil menguap manja.
"Kamu pasti sudah meminum embun pagi ini, ya! Waahh, ... tentu segar rasanya, tetapi mengapa kamu masih mengantuk?"
"Ehe he he ... iya, mataku masih berat, nih. Dingin banget pagi ini, Kupi kawanku nan rupawan!" jawab Belo sambil menggeliat.
"Ahhh, .... Ayolah segera beraktivitas, jangan malas!" kata Kupi menyemangatinya. "Aku juga ingin segera mengisap madu bunga matahari di barat sana. Ayolah bangun, jangan malas!" lanjutnya pula.
Tiba-tiba dilihat oleh Belo sayap Kupi mengkilat ditimpa sinar mentari yang pagi ini mulai berpendar. Sinar yang menerobos di antara daun waru dan daun jambu hutan itu membuat sayap Kupi tampak berkilau indah. Apalagi segala warna di dunia ada di sana. Ada hitam, biru cerah, biru dongker, ungu, hijau, kuning, jingga, putih, juga bulatan merah indah.
Ketika dikepakkan warna itu aduhai indahnya. Belum lagi sepasang antena melengkung menggulung di ujung menghiasi wajahnya, menambah kecantikannya kian sempurna dipandang netra.
Belo melihat pada dirinya. "Uhhh, ... warnaku kusam! Hanya satu warna pula, coklat kusam dana buram!"
Tetiba saja dia merasa malu dan minder. Belalang diam, tetapi tetap memandangi keindahan dan kemegahan sayap Kupi. Sangat jauh berbeda antara dirinya dengan Kupi yang lincah dan indah itu.
"Hei, Sahabat! Mengapa kamu diam melamun?" tanya Kupi mencairkan suasana beku.
"Hmmm, ... iya ... iyaa ... A-aku ... aaakuuu ...!" Belo menjawab tergagap. Ia malu sekali.
"Ada masalah apa? Katakanlah! Siapa tahu aku bisa membantumu!" tutur Kupi agak merayu.
"Pergilah mencari madu dulu. Nanti jika sudah kenyang, kembalilah ke sini, Kawanku! Aku perlu nasihatmu, tetapi aku juga masih agak mengantuk. Pas kamu selesai mencari madu, kantukku pasti sudah sirna!" kata Belo.
"Baiklah, aku pergi dulu sebentar saja. Kulihat di seberang banyak bunga liar! Tidurlah, sebentar, Â jika kenyang nanti, aku pasti kembali kemari!"
"Baiklah, hati-hati, ya!"pesan Belo.
Selama ditinggal oleh Kupi, Belo menimbang-nimbang. Apakah perlu dia bertanya kepada Kupi. Apakah kawannya ini tidak menghinanya nanti? Hmmm ... iya, tidak. Iyaa, tidakk ... galau hatinya sehingga kantuknya pun tiba-tiba sirna.
Ternyata Kupi tidak mengingkari janjinya. Belum satu jam dia sudah kembali mengunjungi Belo. Ia berayun-ayun di pucuk tangkai bunga rumput liar, lalu sapanya manis, "Belo, sahabat baikku. Aku sengaja datang untukmu. Ceritakanlah masalahmu, dengan senang hati aku akan membantumu!"
"Hmmm ... apakah kamu bisa menjaga rahasiaku?" tanya Belo ragu.
"Jangan khawatir, Kawan. Aku tidak akan membongkar rahasiamu. Aku akan menjaganya seperti menjaga biji mataku!"
"Baiklah, Kawan. Begini ...," kata Belo sambil memperbaiki posisi berdirinya.
Diceritakanlah betapa tadi setelah melihat sayapnya yang indah timbul rasa kecewa terhadap keberadaan dirinya. Belo membandingkan kondisi tubuhnya yang jelek. Apalagi kaki belakangnya yang terlalu panjang dan berduri-duri dianggapnya sangat tidak menguntungkannya. Lalu muncullah rasa sedih di dalam hatinya. Menyesal mengapa ia diciptakan dengan model badan yang sangat jelek ditambah warna kusam yang sangat tidak menawan.
"Sebenarnya aku sangat malu!" kata Belo memulai ceritanya.
"Malu? Kenapa kamu harus malu?" selidik Kupi dengan mata nanar.
"Ini ... lihatlah aku! Sayapku jelek tidak seperti sayap indahmu. Aku juga tidak bisa terbang sepertimu!"
"Ohh, ...!" Kupi terkejut sekali.
"Lihat pula kaki belakangku ini. Terlalu panjang dan berduri. Jelek sekali, bukan? Lagipula aku hanya bisa melompat saja!" keluh Belo.
"Ooohh, begitu saja kenapa malu? Tahukah kamu bahwa dahulu aku pun sangat jelek?" lanjut Kupi.
Belo mendengarnya terheran-heran, "Benarkah?" tanyanya.
"Pasti benarlah! Saat aku masih menjadi ulat, siapa yang memedulikan aku? Semua takut karena begitu jeleknya aku. Semua merasa jijik apalagi bulu-buluku bisa membuat gatal siapa pun yang terkena ujungnya. Banyak yang tidak menyukai bentuk tubuh dan keberadaanku!" kata Kupi dengan mata berkaca-kaca.
Belo menyimak cerita Kupi, lalu sejenak kemudian, Kupi pun melanjutkannya, "Saat aku menjadi kepompong pun masih menjijikkan. Tubuhku jelek sekali, hanya seperti guling yang hanya bisa berguling-guling. Beruntung jika aku selamat! Jika ditemukan oleh manusia yang menganggap diriku enak, aku pasti digorengnya sebagai sumber gizi yang gurih. Nah, sangat rawan, sementara aku tidak bisa mengelak, tidak bisa menyelamatkan diriku sendiri!" sengaja Kupi diam kembali sejenak untuk memberi kesempatan agar Belo bisa berpikir jernih.
"Saat menjadi kepompong, aku sengaja berpuasa, tidak memakan apa pun juga. Aku hanya berdoa memohon kepada Allah agar diberi wujud yaag indah, tidak menakutkan dan tidak menjijikkan lagi. Siang malam aku tak henti-hentinya berdoa. Bersyukur, doaku didengar dan dikabulkan-Nya. Selanjutnya, wujudku seperti ini sekarang!" kata Kupi memamerkan keindahan sayapnya.
"Apa aku juga harus berdoa kepada Allah?"
"Kukira setiap makhluk wajib berdoa kepada Allah, Sahabatku! Perkara permohonan kita didengar atau tidak, itu urusan Allah sendiri!"
"Apa wujudku akan berubah bila aku berdoa?" tanya Belo.
"Wah, itu aku tidak tahu, Belo! Karena segala sesuatu di dunia ini hanya Allah yang Mahatahu!"
"Jika aku berpuasa ... apa Allah akan mengabulkan doaku?"
"Allah akan mengabulkan yang lumrah, Sahabatku. Namun, Â entahlah, mungkin juga Allah akan memberikan keajaiban kepadamu, Sahabatku!" kata Kupi, "Ahh hari sudah semakin siang, aku harus berkunjung ke tempat saudaraku. Izin untuk meninggalkanmu, ya Sahabat! Semoga kamu berbahagia!" pamit Kupi.
Memperhatikan bagaimana kupu-kupu terbang dengan indahnya, bermanuver pula di atas kepalanya, Belo merasa sangat iri di dalam hatinya. Tiba-tiba saja dia ingin memiliki sayap yang indah  sebagaimana yang dimiliki Kupi.
"Baiknya aku akan puasa seperti kepompong supaya memiliki sayap seindah kupu-kupu!" begitu katanya di dalam hati.
Sejak hari itu Belo berpuasa. Ia tidak makan, tidak minum, tidak bergerak, dan bahkan tidak mau berbicara. Dia hanya diam tak bergeming di sela-sela daun ilalang panjang. Seperti halnya kepompong!
Sudah berhari-hari dia melakukan aktivitas barunya: bertapa dan berpuasa! Dia berkeinginan dan berharap agar sayapnya berubah menjadi indah. Namun, yang terjadi semakin hari badannya semakin kurus. Teman-teman serangga lain yang melihatnya, merasa terheran-heran melihat perubahan drastis itu.
"Apakah kamu sakit, Belo sehingga kamu tidak mau makan dan bermain dengan kami?" tanya Jangki jangkrik mendekatinya.
Belo tidak mau menjawab. Hanya diam seperti halnya kepompong.
"Aneh, biasanya kamu mau berbicara, mengapa sekarang diam, Belo? Ada apa denganmu?" tanya Cing Cacing yang tiba-tiba menyembul dari sela akar ilalang dengan terheran-heran. Belo tetap diam membisu sejuta bahasa.
"Apa yang kamu pikirkan, wahai Belo? Badanmu kurus, mukamu pucat, bibirmu gemetar. Apa yang menjadi permasalahanmu?" tanya Glatik yang hinggap di pucuk bunga liar.
"Ceritakanlah, siapa tahu kami bisa membantu memikirkan dan mencari jalan keluarnya!" rayunya.
Belo hanya diam saja. Hal ini menyebabkan semua temannya sedih dan khawatir. Semua mengira si Belo mulai gila. Karena itu, keesokan harinya teman-temannya berkumpul di sebelah-sebelah dan di sekitarnya  mencoba menghibur dan mengajaknya berbicara.
"Jika ada masalah, berbicaralah!" kata Jangki jangkrik.
"Ya, Belo. Kami dengan tulus akan mencoba membantumu!" kata Li Lipan.
Semua berusaha menghibur. Mendengar hal itu hati Belalang pun tersentuh dan luluh, kemudian mau menceritakan keadaan dan sisi hatinya. Apa yang dipikirkan dan diinginkannya dikemukakannya dengan mata berkaca-kaca.
"Aku berpuasa karena ingin menjadi seperti Kupi. Aku ingin menjadi kupu-kupu!" katanya tersendat-sendat.
"Oh, apa mungkin?" teriak Cing Cacing.
"Aku berdoa supaya Allah mengabulkan permohonanku!" kata Belo.
"Aduh, Belooooww! Allah hanya mengabulkan doa yang baik. Allah hanya mengabulkan doa yang wajar!" kata Kalajengking lantang.
"Apa memohon menjadi kupu tidak wajar?" tanya Belo.
"Mesti saja tidak wajar! Seperti kamu minta hujan dari langit di musim kemarau!" kata Li Lipan.
"Allah menciptakanmu menjadi belalang, harusnya kamu bersyukur!" kata Jangki menimpali.
"Sayapku paling jelek, aku malu!" dalih Belo.
      "Mengapa harus malu? Siapa yang bilang kamu jelek? Siapa, coba?"  kejar Cing Cacing.
"Ya, aku sendiri yang merasa begitu!" Â dalih Belo.
"Tetapi aku menganggap sayapmu itu indah sekali, Belo! Jauh lebih baik dari sayapku!" kata Kecoak yang tiba-tiba melompat ke arahnya.
Belalang memandangi Kecoak dengan seksama.
"Pandanglah aku baik-baik, Kawan! Apa kamu pikir sayapku lebih baik daripada sayapmu?" lanjut Kecoak sambil memutarkan dirinya.
Belo lalu melihat Kecoak dengan lebih jeli lagi. Tampak benar. Warna sayap Kecoak lebih pekat daripada warna sayapnya. Jika dibandingkan dengan sayapnya, sayap Kecoak lebih jelek.
"Jika demikian, ya sudahlah Belo. Jangan berharap yang tidak-tidak. Sebentar lagi akan diadakan lomba atletik. Jika kamu melanjutkan tapa puasamu dan berharap keajaiban, lalu siapa yang akan menjadi juara lomba lompat jauh?" Â kata Cing Cacing pula.
"Selama ini bukankah kamu juaranya, Belo?" imbuh Jangkrik.
"Juara tak tertandingi dan tak terkalahkan!" puji Kalajengking santai apa adanya.
"Nah, tenyata kamu masih lebih hebat dibandingkan kupu-kupu, kan? Lalu mengapa kamu ingin menjadi kupu-kupu?" tanya Cing Cacing heran.
Belalang tersentak. Terkejut luar biasa. Apa yang disampaikan teman-temannya ternyata memang benar adanya. Selama ini dialah juara lompat jauh. Jika dia menjadi kupu-kupu, pastilah tidak akan bisa menjadi juara lompat jauh lagi.
"Sudah, jangan melamun terus. Cepatlah sudahi tapa puasamu! Cepat cari makanan dan makan yang banyak supaya tenagamu pulih, sehat, dan kuat. Kamu harus secepatnya berlatih agar hari H perlombaan nanti kamu tidak dikalahkan oleh Jangkrik!" kata Li Lipan mengingatkannya.
"Terima kasih!" ucap Belo.
Kemudian secepat kilat dia melompat melesat mencari makanan. Setelah merasa bersalah, Belo bersyukur karena tetap menjadi belalang sebab dengan demikian dia akan bisa mencapai cita-cita untuk menjadi juara atletik di bidang lompat jauh lagi.
Belo bersyukur memiliki sahabat yang sangat memperhatikan dirinya. Tidak perlu malu lagi, tidak perlu menyesali kalau kaki belakangnya panjang berduri. Ya, tidak perlu bertapa dan berpuasa lagi!
Teman-teman serangga semuanya senang. Mereka bersorak gembira dan saling bersalaman.
"Kita saling mendoakan, ya Kawan!" ujar Li Lipan. "Jika ada masalah jangan dipendam sendiri! Mari kita diskusikan bersama!"
Mereka setuju dan akhirnya berpencar menuju tempat tujuan masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H