"Mas, aku latihan mobil aja deh. Nggak usah masuk. Mata kuliahnya ringan, kok!" alasanku. Prima diam, tetapi netranya memancarkan rasa sesal melihatku bermalasan kuliah.
"Sebenarnya bukan urusanku, tetapi aku sungguh sangat kecewa jika Mbak tidak bersedia kuliah. Bukankah orang tua pun berharap Mbak berhasil menggapai cita-cita? Mbak enak, loh! Semuanya sudah tersedia! Tinggal menjalaninya saja, mengapa harus malas?" ujarnya sambil menghela napas.
"Sebenarnya... aku sedang berusaha meninggalkan seseorang. Jadi, aku harus membatasi pertemuanku dengannya!" kataku tergagap saat duduk kembali di jok belakang.
"Ohh, ... apakah dengan begitu Mbak mengorbankan masa depan? Jika nilai kuliah hancur, bagaimana? Itu artinya pahlawan kalah perang!" ujarnya.Â
"Aku tahu, usia kita palingan berbeda tiga tahunan. Aku pun tahu tak seharusnya masuk terlalu jauh ke dalam kehidupan Mbak. Akan tetapi, aku juga tidak mau ikut andil dalam ketidakberhasilan Mbak karena bagaimana pun aku telah menjadi bagian dari keluarga Mbak. Apa aku bisa diam saja?" lanjutnya.
"Seandainya Mbak gadis kecil, pastilah sudah kugendong kuantar masuk kelas karena itu merupakan tanggung jawabku. Nah, karena Mbak sudah sebesar ini, apakah aku harus menggendongmu? Katakan padaku, bagaimana aku harus bertanggung jawab?"
"Hmm ...!" geli juga aku mendengar pertanyaan terakhirnya.
"Biasa sajalah, Mbak. Nggak usah dipikir. Tetap saja kuliah dengan biasa saja. Jangan korbankan kuliahmu! Tunjukkan kalau Mbak dewasa dalam berpikir!"Â
Aku hanya diam. Maka lanjutnya, "Ikutlah kuliah. Aku akan menunggu Mbak di sini! Hanya sembilan puluh menit, kan?" aku mengangguk. "Nah, silakan Mbak kuliah dulu. Berkonsentrasilah. Setelah selesai, segera kita belajar mobil. Bagaimana? Atau Mbak saya ajak ke tempat yang indah. Setuju?"
Akhirnya, aku pun ikuti apa katanya. Entahlah, seperti punya magnet saja! Setelah mendengar betapa sulitnya dia harus menjalani hidup tanpa orang tua, aku jadi semakin paham bahwa bagaimana pun aku tak boleh lagi bermalas-malasan kuliah. Walau alasanku tidak mau bertemu dengan Mas Dewo, aku harus mempersiapkan hatiku untuk tetap bertahan pada prinsip. Jika aku yang memprakarsai perpisahan, akulah yang harus menunjukkan nyaliku.Â
Usai kuliah, Rianti mengejarku. "Nin, terima kasih, ya! Atas semua pengorbananmu, kini semuanya boleh terjadi!" aku terperangah. Aku tidak mengerti apa maksud perkataannya.