Aku cuma mengangguk mengiyakan. Jika ayah sudah akrab dengannya, aku belum kenal  sama sekali. Sambil mengendarai mobil, dia menceritakan bahwa ayahku adalah orang baik. Ayahkulah yang menolongnya hingga dia menyelesaikan kuliahnya. Dengan sesekali menjadi sopir pribadinya itu, dia bisa membiayai kuliahnya. Kedua orang tuanya sudah tiada, sementara dia masih memiliki seorang adik lelaki yang duduk di bangku akhir SMP. Kini setelah wisuda, ayahku memintanya menjadi sopir pribadinya. Apalagi, selain ayah dan ibu, aku pun harus diantar jemput olehnya. Maka resmi sejak hari ini dialah yang akan mengantarkan kami ke mana pun kami mau.
Nama panggilannya Prima. Lengkapnya Prima Wisesa. Wajahnya lumayan tampan. Dia telah mengantongi ijazah sarjana dengan predikat cumlaude dari perguruan tinggi negeri ternama. Sambil menunggu panggilan kerja, dia menerima tawaran ayah untuk menjadi sopir pribadi kami.Â
Aku pun dipersilakan mencoba mengendarai kendaraan di perumahan sepi. Jalannya lumayan bagus. Ada yang lurus dan panjang, ada juga putaran yang tepat sekali untuk berlatih mengendarai mobil. Katanya, Prima dulu juga belajar di tempat itu.
Sebelum aku memulai, dia memberitahukan jurus jitunya untuk berkendara. Aku pun menyimak saja, hitung-hitung menambah pengetahuan. Akhirnya, aku berhasil menundukkan mobil ayah meskipun masih belum sehalus Prima. Tak mengapa. Masih ada kesempatan untuk berlatih sampai aku diizinkan ayah untuk membawanya sendiri.
Sampai di rumah ayah mencecar dengan pertanyaan, "Bagaimana, Prim. Sudah mantapkah Ninoy mengendarai mobil?"
"Sudah lumayan, Pak!" jawab Prima santun.
Aku hanya tersenyum, "Masih ada waktu untuk belajar lagi, kan?" sergahku.
"Ya, tentu saja masih. Nanti biar Prima yang mengatur waktunya. Sesuaikan dengan jadwal kuliahmu, Nin!" kata ayah sambil menatap netra Prima.
Aku langsung menyerbu meja makan. Bik Imah pasti sudah membuatkan sup buntut seperti yang kupesan pagi tadi. Dua hari ini Ibu sedang berada di rumah nenek di kampung, jadi seperti biasa, Bi Imahlah yang menangani urusan dapur.
 Hari itu, hari Senin. Gerimis terus-menerus sejak dini hari membuat pagi menjadi cukup dingin. Aku ada kuliah pagi. Saat ayah ke kantor diantar Prima, aku pun ikut serta. Biarlah mengantar ayah dahulu, baru lanjut mengantarku ke kampus.Â
Turun dari mobil, tepat di pintu gerbang kampus, aku melihat Rianti berjalan beriringan dengan Mas Dewo. Aku tidak jadi turun. Aku meminta Prima untuk menuju tempat kami berlatih mobil.