Aku terhenyak. Aku tak bisa menjawabnya. Aku juga memundurkan posisi kursiku, lalu menoleh padanya.
"Aku sedang menunggu panggilan tes di suatu kantor. Tolong bantu mendoakan, ya... agar aku diterima di sana. Aku janji, aku akan setia menunggu sampai Mbak bersedia menjadi calon istriku!" katanya dengan bergetar. "Apakah aku yang miskin ini tidak layak mengatakan hal itu?" tanyanya pelan sekali.
 "Aku hargai kejujuran dan ketulusanmu, tetapi aku juga harus menyelesaikan kuliahku seperti nasihatmu!" jawabku tak kalah pelan.Â
"Iya, aku sanggup menunggu sambil mempersiapkan masa depan!" katanya. "Aku tidak ingin mengecewakanmu!" lanjutnya. Beberapa saat kemudian, "Bagaimana, apa aku diterima?" tanyanya nanar sambil menatap langsung netraku.
Aku tersenyum mengangguk. Dengan terbata-bata ia berkata, "Aku berjanji akan setia dan mempersiapkan masa depan dengan lebih bersemangat!" katanya sambil mengambil kedua telapak tanganku untuk dibawanya ke dadanya.
"Terima kasih, Mbak!" lalu diciumnya kedua punggung tanganku. Â
Aku tertawa bahagia. Ada getar yang tak dapat kutahan, "Mulai saat ini jangan pernah ubah panggilanmu padaku ya Mas ...'Mbak' ... !" kataku manja. Dia pun tersenyum malu.
Dua hari kemudian, Prima dipanggil tes di salah satu kantor bank ternama. Tes tersebut akan berlanjut sepuluh kali. Karena itu, dia datang kepada ayah untuk memohon izin dan sekalian memohon restu agar semuanya berjalan lancar.Â
Maka, beberapa bulan kemudian, setelah mengikuti serangkaian tes, dia pun dipanggil dan diterima sebagai karyawan bank ternama di ibukota. Sebelum melaksanakan tugasnya, sekali lagi dia datang kepada kedua orang tua kami untuk memohon restu, sekaligus mengemukakan keinginannya hendak mempersunting aku setelah persiapannya matang.
Orang tua kami menyerahkan semuanya padaku. Ketika aku mengangguk, dia pun mendatangi tempat dudukku. Sambil berjongkok di depan lututku, dia mengatakan, "Aku berjanji akan mempersiapkan masa depan kita. Aku juga berjanji di depan kedua orang tua kita bahwa aku berniat akan membahagiakanmu! Berjanjilah padaku untuk setia menungguku!" aku mengangguk tanpa menjawab sambil berurai air mata.
Lalu dia datang pula ke pangkuan kedua orang tuaku untuk meminta doa sambil menitipkan adiknya karena dia merasa tidak mungkin mengawasinya dari kejauhan. Orang tuaku menyanggupinya. Sejak saat itu, atas inisiatif orang tuaku, rumah Prima disewakan dan Pamungkas diminta tinggal bersama kami. Pamungkas yang sudah menduduki bangku sekolah menengah atas menyetujuinya, apalagi jarak sekolahnya juga dekat dengan rumah kami sehingga dia tinggal berjalan kaki sekitar satu kilometer saja. Pamungkas tahu bahwa Prima sudah menjadi calon suamiku sehingga di antara kami sudah ada ikatan batin yang kuat.