Memanfaatkan Lakon dalam Pewayangan sebagai Motivator Belajar Siswa
Ninik Sirtufi Rahayu
Salah satu cerita pewayangan yang dapat menyemangati pembelajar adalah lakon "Palguno Palgunadi". Palguno dan Palgunadi terlibat konflik dalam sayembara memanah.
Palguno (Arjuno) merasa iri atas keberhasilan rivalnya itu. Palguno merasa tidak nyaman karena Palgunadi menyainginya. Â Â Â Â Â Â Â
Jika Palguno memiliki guru memanah andal, Durno, tidak demikian dengan Palgunadi, seorang raja muda dari kerajaan lain ini. Palgunadi  pernah melamar menjadi siswa untuk les privat pada Durno. Namun, lamaran Palgunadi kepada guru memanah favorit ini ditolak mentah-mentah.
Palgunadi tak kurang akal. Guru favoritnya ini dipatungkan. Dia belajar memanah dengan tekun seolah sedang ditunggui oleh Durno. Raja tampan ini sengaja menghadirkan Durno dalam bentuk patung yang selalu berada di dekatnya berlatih memanah. Akalnya membuahkan hasil. Palgunadi memenangkan pertandingan.
Namun, Palguno tak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada dan merayu agar sang guru tercinta mencari tahu. Namanya saja Durno. Konon, akar kata 'dur' ini mengandung arti 'jelek, buruk, busuk' sehingga yang dilakukan tentu saja hal jelek/licik.
Selain karena ketekunan berlatih, ternyata rahasia kemenangan Palgunadi terletak pada sebentuk cincin bertuah yang melingkar di ibu jarinya. Durno menantang Palgunadi. Jika menganggapnya sebagai guru dan mencintainya sepenuh hati, apa pun yang diminta akan diberikan. Durno meminta cincin itu.
Palgunadi terperangah. Namun, karena cinta dan janjinya kepada Durno, Palgunadi merelakan cincin itu diambil. Tidak berhasil karena cincin telah menyatu pada jari pemiliknya. Satu-satunya jalan, jari Palgunadi harus dipotong. Dan, Palgunadi pun tewas di tangan Durno. Selanjutnya, jari yang menyimpan cincin bertuah ini diberikan dan ditempelkan ke tangan Arjuno sehingga kepiawaian memanahnya tak tertandingi.
Bukankah sampai di sini sangat menonjol keculasan sang guru? Tampak sekali betapa Durno menganakemaskan Palguno/Arjuno dengan menghalalkan segala cara. Ini bukan hal elok untuk diteladani!
Mengupas filosofi lakon ini cukup menarik sambil  berharap tak ada seorang guru pun yang bermental culas bagai Durno. Dari sisi Palgunadi selaku murid yang patuh dan rela berkorban, lakon ini dapat menjadi acuan pola pikir siswa. Manakala lamarannya ditolak, ia tak kurang akal dengan membayangkan sang guru (yang dipatungkan) menemaninya setiap berlatih. Sejatinya, ia berlatih tanpa guru. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan tersebut sebenarnya karena ketekunan berlatih.
Andaikata siswa kita bermental Palgunadi, pantang menyerah, bermotivasi tinggi, siswa pun akan berhasil. Bukankah tak ada siswa bodoh, yang ada adalah siswa malas? Cincin bertuah itu sebenarnya adalah talenta. Tuhan telah memperlengkapi manusia ciptaan-Nya ini dengan aneka kemampuan. Namun, potensi anugerah Tuhan yang sudah ada pada diri siswa tersebut belum tergali dan terasah. Karena  berbagai faktor, baik dari lingkungan keluarga maupun masyarakat, kemampuan siswa tersebut belum berkembang secara maksimal. Di sinilah peran aktif dan sentuhan tangan kasih guru diperlukan.
Pada zaman sekarang, guru bukan satu-satunya sumber ilmu. Ada banyak media cetak dan elektronika yang setiap saat dapat diakses. Tinggal bagaimana sang siswa mengelola waktu belajarnya untuk dapat menangguk dan menabung segudang ilmu yang dibutuhkannya pada masa depan. Mereka butuh tokoh identifikasi yang takkenal lelah memberikan dorongan, nasihat, perhatian, reward dan punishment, serta kasih sayang, yaitu guru!
Menurut psikologi cibernetiks apa yang diinginkan seseorang pasti dapat tercapai. Syaratnya, jika sungguh-sungguh yakin akan dapat meraihnya dan tentu dibarengi dengan berbagai upaya. Apa yang diidamkan Palgunadi tersebut sangat wajar dan dapat terjadi pada siswa kita. Keberhasilan yang terutama bukan berasal dari sosok guru, melainkan dari si pembelajar sendiri. Masalahnya, guru harus memompa semangat juang siswa yang seringkali sangat lembek dan seolah pasrah bongkokan terhadap nasib.Â
 Ada banyak  siswa yang karena keterbatasan dana harus nyambi menjadi loper koran, ikut orang sebagai tenaga serabutan, dan lain-lain. Keterbatasan dana dapat diatasi dengan kegigihan  berusaha. Yang diperlukan hanya satu: motivasi intrinsik!
Salah  seorang advokat sukses pernah menceritakan  perjuangan hidupnya. Dengan berbekal ijazah SMA, ia menjadi sopir pribadi pengusaha terkenal. Malam hari selepas bekerja, ia melanjutkan kuliah di salah satu PTS hingga berhasil lulus. Selanjutnya ia diterima bekerja pada salah satu instansi advokasi dan pada akhirnya berhasil menduduki posisi strategis.
Keberhasilan siswa Jawa Timur di forum internasional beberapa tahun silam begitu luar biasa. Vincentius Gunawan dan Fernanda Novelia kelas 2 SMP Petra 3 Surabaya berhasil menyabet medali emas di Polandia dengan penelitiannya "Membasmi Hama Padi tanpa Pestisida". Ini sangat membanggakan.
Cerita tentang perjuangan dan kisah hidup tokoh atau siswa sebaya yang sukses seperti ini perlu didengar, diperdengarkan, dibaca, atau diketahui siswa. Hal itu bagus sebagai motor penggerak perjuangan sekaligus motivator!
Ada sedikit terselip dampak negatif kemajuan teknologi melanda dunia pendidikan, dalam hal ini siswa. Adanya berbagai fasilitas serbacanggih dan supermodern, kerap meninabobokkan dan menyebabkan siswa kurang greget dalam belajar. Gawai yang semula diharapkan dapat membantu memperlancar komunikasi antara ortu dan anak, antarteman, dan lain-lain sesuai fasilitas dan fitur yang ada, ternyata kerapkali malah menjadi kendala PBM.
Di kelas, jika guru tidak juweh atau kurang ketat, siswa akan memanfaatkan gawainya untuk ber-sms ria, chating, nge-game, atau bermusik. Yang terakhir ini masih dimaklumi senyampang tidak mengganggu kelas karena memang ada tipe siswa yang dapat menyerap pelajaran jika sambil mendengar musik.
Bertahun silam, ketika penulis masih berdinas di sekolah lanjutan pertama negeri yang berada di pinggiran, warnet begitu ramai dikunjungi siswa berseragam sepulang sekolah. Mereka tidak melakukan browsing ilmu pengetahuan atau tugas-tugas, tetapi cenderung chatting atau main game tak ubahnya  playstation. Kadang-kadang sampai lupa waktu. Di sisi lain, orang tua/wali murid sekolah pinggiran mengeluh, menuturkan bahwa mereka merasa kalah dan kewalahan menghadapi putra/i-nya yang sedang pubertas, labil, dan merasa sok pintar. Sungguh  miris!
Anak-anak ini beranggapan bahwa orang tua mereka katrok, ketinggalan zaman, tidak mengenal komputer/laptop, apalagi mampu mengoperasikannya. Kala itu ke warnet menjadi alasan istimewa dan kebanggaan tersendiri, padahal mereka tidak memperoleh apa-apa kecuali hanya kesenangan semu di dunia maya. Alih-alih berselancar di dunia pengetahuan, mereka memanfaatkan sarana internet hanya sebatas kesenangan semata!
Jika kedua orang tua sama-sama sibuk, anak-anak ini kurang terkontrol jam belajarnya di rumah. Pekerjaan rumah seringkali terbengkelai sehingga sampai di sekolah keesokan harinya tugas-tugas sekolah tidak terselesaikan dengan baik. Guru tidak dapat memberikan nilai maksimal karena siswa tidak mengerjakan tugas/PR-nya. Padahal, nilai tugas ini cukup berpengaruh terhadap kenaikan kelas.
Kerja sama antara orang tua, wali kelas, guru BP/BK tampaknya dapat menjadi solusi yang sangat bermakna. Sarana telepon atau gawai dapat dimanfaatkan kedua belah pihak, wali murid dan pihak sekolah, untuk memantau perkembangan dan usaha siswa dalam menyelesaikan tugas/PR-nya serta menyiasati kekurangan nilainya.
Selalu juweh alias cerewet mengingatkan merupakan kata kunci yang perlu dipegang guru. Jika hal itu dilaksanakan, Palgunadi-Palgunadi masa kini yang tak kenal lelah mencari ilmu akan tercipta. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H