Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memanfaatkan Lakon dalam Pewayangan sebagai Motivator Belajar Siswa

2 April 2024   08:33 Diperbarui: 2 April 2024   08:37 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Andaikata siswa kita bermental Palgunadi, pantang menyerah, bermotivasi tinggi, siswa pun akan berhasil. Bukankah tak ada siswa bodoh, yang ada adalah siswa malas? Cincin bertuah itu sebenarnya adalah talenta. Tuhan telah memperlengkapi manusia ciptaan-Nya ini dengan aneka kemampuan. Namun, potensi anugerah Tuhan yang sudah ada pada diri siswa tersebut belum tergali dan terasah. Karena  berbagai faktor, baik dari lingkungan keluarga maupun masyarakat, kemampuan siswa tersebut belum berkembang secara maksimal. Di sinilah peran aktif dan sentuhan tangan kasih guru diperlukan.

Pada zaman sekarang, guru bukan satu-satunya sumber ilmu. Ada banyak media cetak dan elektronika yang setiap saat dapat diakses. Tinggal bagaimana sang siswa mengelola waktu belajarnya untuk dapat menangguk dan menabung segudang ilmu yang dibutuhkannya pada masa depan. Mereka butuh tokoh identifikasi yang takkenal lelah memberikan dorongan, nasihat, perhatian, reward dan punishment, serta kasih sayang, yaitu guru!

Menurut psikologi cibernetiks apa yang diinginkan seseorang pasti dapat tercapai. Syaratnya, jika sungguh-sungguh yakin akan dapat meraihnya dan tentu dibarengi dengan berbagai upaya. Apa yang diidamkan Palgunadi tersebut sangat wajar dan dapat terjadi pada siswa kita. Keberhasilan yang terutama bukan berasal dari sosok guru, melainkan dari si pembelajar sendiri. Masalahnya, guru harus memompa semangat juang siswa yang seringkali sangat lembek dan seolah pasrah bongkokan terhadap nasib. 

 Ada banyak  siswa yang karena keterbatasan dana harus nyambi menjadi loper koran, ikut orang sebagai tenaga serabutan, dan lain-lain. Keterbatasan dana dapat diatasi dengan kegigihan  berusaha. Yang diperlukan hanya satu: motivasi intrinsik!

Salah  seorang advokat sukses pernah menceritakan  perjuangan hidupnya. Dengan berbekal ijazah SMA, ia menjadi sopir pribadi pengusaha terkenal. Malam hari selepas bekerja, ia melanjutkan kuliah di salah satu PTS hingga berhasil lulus. Selanjutnya ia diterima bekerja pada salah satu instansi advokasi dan pada akhirnya berhasil menduduki posisi strategis.

Keberhasilan siswa Jawa Timur di forum internasional beberapa tahun silam begitu luar biasa. Vincentius Gunawan dan Fernanda Novelia kelas 2 SMP Petra 3 Surabaya berhasil menyabet medali emas di Polandia dengan penelitiannya "Membasmi Hama Padi tanpa Pestisida". Ini sangat membanggakan.

Cerita tentang perjuangan dan kisah hidup tokoh atau siswa sebaya yang sukses seperti ini perlu didengar, diperdengarkan, dibaca, atau diketahui siswa. Hal itu bagus sebagai motor penggerak perjuangan sekaligus motivator!

Ada sedikit terselip dampak negatif kemajuan teknologi melanda dunia pendidikan, dalam hal ini siswa. Adanya berbagai fasilitas serbacanggih dan supermodern, kerap meninabobokkan dan menyebabkan siswa kurang greget dalam belajar. Gawai yang semula diharapkan dapat membantu memperlancar komunikasi antara ortu dan anak, antarteman, dan lain-lain sesuai fasilitas dan fitur yang ada, ternyata kerapkali malah menjadi kendala PBM.

Di kelas, jika guru tidak juweh atau kurang ketat, siswa akan memanfaatkan gawainya untuk ber-sms ria, chating, nge-game, atau bermusik. Yang terakhir ini masih dimaklumi senyampang tidak mengganggu kelas karena memang ada tipe siswa yang dapat menyerap pelajaran jika sambil mendengar musik.

Bertahun silam, ketika penulis masih berdinas di sekolah lanjutan pertama negeri yang berada di pinggiran, warnet begitu ramai dikunjungi siswa berseragam sepulang sekolah. Mereka tidak melakukan browsing ilmu pengetahuan atau tugas-tugas, tetapi cenderung chatting atau main game tak ubahnya  playstation. Kadang-kadang sampai lupa waktu. Di sisi lain, orang tua/wali murid sekolah pinggiran mengeluh, menuturkan bahwa mereka merasa kalah dan kewalahan menghadapi putra/i-nya yang sedang pubertas, labil, dan merasa sok pintar. Sungguh  miris!

Anak-anak ini beranggapan bahwa orang tua mereka katrok, ketinggalan zaman, tidak mengenal komputer/laptop, apalagi mampu mengoperasikannya. Kala itu ke warnet menjadi alasan istimewa dan kebanggaan tersendiri, padahal mereka tidak memperoleh apa-apa kecuali hanya kesenangan semu di dunia maya. Alih-alih berselancar di dunia pengetahuan, mereka memanfaatkan sarana internet hanya sebatas kesenangan semata!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun