Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menoleh Sejenak

1 April 2024   23:02 Diperbarui: 1 April 2024   23:10 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menoleh Sejenak 

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

 

 

Sinar matahari sedang dengan jahatnya memanasi bumi dan seisinya. Ya, hari Minggu siang ini aduhai teriknya. Sinar mentari itu beraksi tanpa kompromi, menyengat dan membakar persada dan segala isinya. Aku sedang berjalan terseok-seok membawa barang bawaan berat. Satu bakul nasi yang masih panas, dua termos air panas, dan beberapa lembar kain lap bersih. Sementara, kepalaku tanpa penutup dan tentu saja silaunya luar biasa. Mana jalanan aspal tampak seolah ada air yang katanya disebut fatamorgana. Aarrgghhh .... Kukernyitkan alis agar silau itu tertepis.

 

Ahh, Emak ... kalau bukan beliau yang menyuruh, aku tak akan mau membawa beban seberat ini. Ya, karena perintah Emak! Mana aku sangat takut disebut sebagai anak durhaka. Maka, kuiyakan saja semua perintahnya walau di dalam hati masih ada sebongkah gerutu tak jelas. Ya, seperti yang kuderita siang ini.

 

Emak adalah tulang punggung keluarga yang hebat! Ya, karena Emak adalah single parent, tepatnya single mom yang sangat perkasa! Sejak ditinggal Bapak pergi entah ke mana beberapa tahun silam, Emak pilih hidup sendiri. Meskipun banyak lelaki yang menawarkan diri untuk menjadikan Emak seorang istri, beliau tidak bergeming. 

 

Dalihnya  hanya satu, karena Emak sayang padaku dan tidak mau memberiku ayah tiri. Barangkali Emak juga trauma karena perlakuan Bapak yang hanya suka berjudi dan berselingkuh, bahkan meninggalkannya pergi tanpa pamit dan tanpa kabar berita. 

 

Di sisi lain, Emak malah merasa merdeka daripada setiap hari bertengkar melulu dengan Bapak. Apalagi Bapak pun tidak produktif sama sekali. Jangankan memberi nafkah, yang ada setiap pagi malah menadahkan tangan meminta jatah. Belum lagi karena suka berjudi, Bapak meninggalkan utang di sana sini yang membuat Emak tidak bisa menikmati jerih lelahnya sendiri. Ditambah lagi Bapak yang selalu ringan tangan. Bukan ringan tangan suka membantu, bukan! Bapak suka main tangan, tepatnya. Kalau emosi sedang meluap karena pengaruh alkohol, Bapak gemar sekali menggampar Emak. Ya, Emak laksana sansak baginya. 

 

Sudah lama Emak ingin melaporkan kekerasan yang terjadi, tetapi selalu tidak punya waktu karena pekerjaan Emak menumpuk tak sempat beristirahat. Namun, bersyukur ... Bapak sendiri yang memilih pergi tanpa pamit dan tak berberita hingga sampai saat ini terhitung puluhan tahun. Jadi, KDRT yang dialami Emak pun praktis terhenti seiring kepergian Bapak.

 

"Mending dia pergi supaya Mawar tidak melihat kejahatan yang dilakukannya. Kejahatan yang berlapis-lapis!" masih kuingat kata-kata Nenek sebelum beliau meninggal beberapa saat lalu.

 

Ya, namaku Mawar Putri Pertiwi. Saat ini aku menduduki bangku SMA kelas sebelas. Aku putri semata wayang yang diharapkan menjadi terbaik di antara yang baik. Walaupun anak tunggal, aku tak pernah dimanja. Justru Emak mendisiplinku sedemikian rupa karena harapannya sangat tinggi untukku.

***

 

 "Aduuhhh ...!" tetiba aku menabrak seseorang.

 

Krompyang .... suara nyaring barang-barang yang jatuh dari pegangan tanganku mengagetkan konsentrasiku. 

 

Ah, untunglah nasi kubungkus dan kuikat kuat-kuat. Kalau tidak, waahh ... bisa bahaya. Emak bisa menyanyi nyinyir tak habis seminggu kalau nasi yang kubawa berhamburan! Semua memang terjatuh dari tanganku dan bergulingan di trotoar itu. Namun, beruntung tidak ada yang tumpah! Sejujurnya peristiwa itu membuatku malu, sudah anak gadis begini terjatuh di tepian jalan besar. Ahhh, malunya ....

 

            Eh, iya, siapa yang kutabrak tadi, ya? Aku mengangkat kepala dan ... ya ampun! Kerennya, ...  aduh Mak, pakai dasi, rapi, necis, waduh-duh! Mesti orang gedongan, nih.

"Maaf ...," tiba-tiba dia bersuara.

Aduh mak, bagaikan copot jantungku ini. Waduh, bagaimana ya, gawat bin bahaya nih. Wah, keadaan benar-benar darurat ...! Cepat-cepat aku membereskan barang bawaanku yang berhamburan dan cepat-cepat pula kuayunkan langkah meninggalkan tempat itu! Namun, baru  beberapa langkah kudengar kicaunya ...

"Eh, Nona, maaf. Maaf, aku tadi tidak sengaja," katanya lagi.

"Sudahlah, saya yang salah. Maaf ya, permisi," kataku dengan berjuta rasa dan bergerak menjauhinya.

Selanjutnya, bagai dikejar pencuri aku pun berjalan tergesa-gesa meninggalkannya tanpa menoleh lagi.

Kudengar dari kejauhan dia masih memanggilku, "Nona, Nona tunggu!"

Tentu saja aku tak menggubrisnya. Aku malu! Sangat malu! Bagaimana tidak? Dandananku siang itu begitu amburadul, sementara dia begitu rapi dan necis sekali!

Oh, dia, dia memanggilku 'nona'? Hi  ... hi ... hi, lucu juga ya. Seumur-umur baru kali ini aku dipanggil nona. Ah, sudahlah, kalau melamun terus bisa-bisa nanti menabrak lagi.

Sesampai di warung kuempaskan pantat di kursi plastik sambil napas terengah dan tangan mengipas-ngipas menggunakan kardus bekas kotak air mineral yang kusaut dari bawah kursi. Capek dan gerah yang tiada tara!

Kulihat Emak masih sibuk melayani pembeli. Hanya dimintanya aku meletakkan nasi di tempat biasa dan membuka termos dengan segera. Namun, aku masih belum beranjak dari tempat duduk.

"Mawar! Cepat nasinya tuang ke sini! Hampir habis, nih!" seru Emak dengan suara alto bernada tinggi.

Barangkali Emak takut aku tidak mendengar karena suara deru mobil yang sahut-menyahut tak pernah berhenti. Ya, arena Emak berjualan memang persis di trotoar. Di pinggir jalan, di depan pertokoan yang tutup sejak lama. Dengan demikian Emak bisa memperoleh dua jajaran ruko memanjang sehingga tempat duduk para pembeli cukup banyak. Emak dibantu empat orang asisten baik sebagai tukang masak di rumah maupun tukang cuci piring dan gelas. Kerja mereka digilir secara sift. 

 

Dagangan Emak lumayan banyak sehingga bisa mempekerjakan empat orang wanita yang keempatnya sama-sama janda. Jadi, seolah warung aneka nasi dengan segala macam lauk-pauk itu dilayani kumpulan janda ahahaha ... tetapi jangan tanya pembelinya. Lumayan antre! Dari para sopir, kenek bus, truk, dan moda angkutan umum lain, dan para penumpang serta masyarakat sekitar yang sudah berlangganan sejak lama.

Kata orang masakan Emak enak dan murah. Apalagi Emak orangnya nyinyir kepada para pegawai untuk selalu menjaga kebersihan tempat berdagang maupun makanan yang diperdagangkan. Bahkan, sebelum berjualan pun Emak meminta para pegawai menyempatkan diri untuk berdandan secara wajar.

"Harus bersih dan rapi," pesannya.

"Resepnya kalau mau jualan makanan itu ya bersih, rapi, higienis, murah, dan dilayani dengan senyum ramah!" kilah Emak bersemangat.

Kalau sedang senggang,  aku pun wajib membantu Emak. Ya, memang yang nomor satu adalah bersekolah dan belajar dengan baik. Sementara, point kedua harus mau membantu Emak berdagang, terutama kalau Minggu dan hari libur sekolah.

Jadi, capeknya lumayan. Seperti hari ini! Setelah mengambil nasi dari rumah yang berjarak sekitar satu kilometer, membantu melayani para pembeli. Biasanya  aku mendapat bagian untuk membuat minuman, teh, kopi, jus buah yang lagi musim, wedang jeruk, dan wedang jahe. Namun, jangan dianggap biasa saja. Capeknya bisa luar biasa karena dari pagi hingga dagangan habis. Istirahat sebentar lalu lanjut sore hingga malam hari. Bukankah ini kerja rodi mengalahkan jam kerja zaman penjajahan Belanda? Ajaib dan herannya, ehhh ... alias luar biasanya, Emak dan keempat asisten beliau itu memiliki tenaga ekstra paripurna. Konon kata mereka kalau menganggur malah nglangut1  dan mudah capek. Aneh, 'kan?

"Tenaga para janda ini sekuat tenaga kuda, ya!" batinku melihat betapa cekatan Emak dan asistennya beraksi.

Melihatnya saja, sungguh ... capek mataku!

Begitulah kehidupan keluargaku setiap hari. Berkutat dengan kerja keras yang tiada henti. Rutinitasku pagi bersekolah, siang sore hingga malam membantu Emak. Setelah pulang di malam hari, aku sempatkan belajar sejenak. Untunglah aku dianugerahi otak encer sehingga cukup mudah menerima dan mengingat materi yang disampaikan para guru di sekolah. Beruntunglah aku hanya semata wayang sehingga kasih sayang Emak hanya tercurah kepadaku.

Di sela-sela membantu Emak, pasti Emak menanyakan kabar hari-hariku. Sekolahku, pergaulanku dengan teman sehingga aku tidak merasa diabaikannya. Sembari melayani para pembeli, Emak selalu menyempatkan diri untuk menasihatiku begini begitu. Dengan demikian komunikasi kami selalu hangat. Emak bahkan menginginkan agar aku bersekolah setinggi mungkin agar puas katanya.

"Kok begitu?" selidikku.

"Iya, Emak nggak pernah makan sekolahan!"

"Yo, mesti wae. Emak makan nasi! Bukan makan sekolahan!" selorohku berapi-api sambil terkekeh.

"Nggak begitu, Ndhuk! Karena Emak tidak pernah bersekolah, silakan kamu puaskan sampai setinggi-tingginya, biar Emak lega. Masiyo5 Emak tidak bersekolah, kamu harus kuliah! Paham?" lanjutnya. 

"Siap 86, Komandan!" jawabku.

"Opo kuwi maksude?" serunya mengalahkan deru mobil.

"Anake Sampeyan sanggup, Mak!" seorang pembeli nimbrung yang membuat tawa Emak semakin ngakak.

"O, walahhh ... nggih!" sambutnya dengan mimik melucu.

***

Saat ini hujan bulan November belum juga reda. Cuaca begitu dingin membuatku berkutat di ruang tamu sambil membaca majalah lama. Ya, aku gemar membaca majalah lama yang dulu tak pernah sempat kusentuh karena kesibukanku.

Kini karena sedang berbadan dua, mungkin gawan bayi11 ada sedikit rasa malas untuk keluar dari rumah. Maka, aku pun me time, refreshing di ruang tamu dengan beberapa majalah lama, khususnya tentang parenting.

Bunyi klakson dan deru mobil membuyarkan lamunanku. Sebuah mobil hitam meluncur memasuki halaman rumahku yang cukup luas. Kubuka sedikit gorden mengintip siapa yang datang. Ternyata lelakiku datang bersama si lelaki sulung kami.  Ya, suamiku adalah lelaki tampan yang dulu menabrakku! Ternyata, sejak pertemuan pertama beberapa tahun silam, dia merasa klepek-klepek melihat kesederhanaan penampilanku.

Saat itu si dia diam-diam mencari dan mengikuti perkembangan pendidikanku. Baru  berani mendekati dan melamar setelah dia mapan dan aku selesai kuliah strata satu menjelang ikut perkuliahan pascasarjana. Amazing, 'kan? Saat ini, dia bersama sulung kami lelaki kecil berusia lima tahun yang baru pulang dijemputnya dari les piano.

Ahhh, mengingat flash back masa lalu yang cukup indah membuatku tersenyum sendiri.

"Terima kasih, ya Allah ... aku telah membuat Emak bangga dengan menyelesaikan kuliahku di fakultas pascasarjana tepat saat Emak mengembuskan napas terakhirnya," senandikaku sambil beranjak menyambut kedua lelakiku yang berjalan menuju teras.

"Terima kasih, Emak ... Emak telah memberikan kesempatan padaku untuk menikmati pendidikan hingga setinggi ini. Biarlah surga menjadi tempat terakhirmu, amin."

Catatan

nglangut  tidak melakukan apa-apa sehingga pikiran kosong

makan sekolahan tidak merasakan bersekolah

Yo, mesti wae ya, tentu saja 

Ndhuk panggilan sayang untuk seorang anak kecil hingga gadis

Masiyo meskipun

Opo kuwi maksude apa itu maksudnya

Sampeyan Anda

nimbrung8 ikut-ikutan

O, walahhh ... nggih  ohh ala ... iya

klepek-klepek  terpesona, terpikat

gawan bayi  bawaan bayi yang ada di dalam kandungan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun