Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

Menulis sesuka hati, senyampang ada waktu, dan sebisanya saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menoleh Sejenak

1 April 2024   23:02 Diperbarui: 1 April 2024   23:10 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Resepnya kalau mau jualan makanan itu ya bersih, rapi, higienis, murah, dan dilayani dengan senyum ramah!" kilah Emak bersemangat.

Kalau sedang senggang,  aku pun wajib membantu Emak. Ya, memang yang nomor satu adalah bersekolah dan belajar dengan baik. Sementara, point kedua harus mau membantu Emak berdagang, terutama kalau Minggu dan hari libur sekolah.

Jadi, capeknya lumayan. Seperti hari ini! Setelah mengambil nasi dari rumah yang berjarak sekitar satu kilometer, membantu melayani para pembeli. Biasanya  aku mendapat bagian untuk membuat minuman, teh, kopi, jus buah yang lagi musim, wedang jeruk, dan wedang jahe. Namun, jangan dianggap biasa saja. Capeknya bisa luar biasa karena dari pagi hingga dagangan habis. Istirahat sebentar lalu lanjut sore hingga malam hari. Bukankah ini kerja rodi mengalahkan jam kerja zaman penjajahan Belanda? Ajaib dan herannya, ehhh ... alias luar biasanya, Emak dan keempat asisten beliau itu memiliki tenaga ekstra paripurna. Konon kata mereka kalau menganggur malah nglangut1  dan mudah capek. Aneh, 'kan?

"Tenaga para janda ini sekuat tenaga kuda, ya!" batinku melihat betapa cekatan Emak dan asistennya beraksi.

Melihatnya saja, sungguh ... capek mataku!

Begitulah kehidupan keluargaku setiap hari. Berkutat dengan kerja keras yang tiada henti. Rutinitasku pagi bersekolah, siang sore hingga malam membantu Emak. Setelah pulang di malam hari, aku sempatkan belajar sejenak. Untunglah aku dianugerahi otak encer sehingga cukup mudah menerima dan mengingat materi yang disampaikan para guru di sekolah. Beruntunglah aku hanya semata wayang sehingga kasih sayang Emak hanya tercurah kepadaku.

Di sela-sela membantu Emak, pasti Emak menanyakan kabar hari-hariku. Sekolahku, pergaulanku dengan teman sehingga aku tidak merasa diabaikannya. Sembari melayani para pembeli, Emak selalu menyempatkan diri untuk menasihatiku begini begitu. Dengan demikian komunikasi kami selalu hangat. Emak bahkan menginginkan agar aku bersekolah setinggi mungkin agar puas katanya.

"Kok begitu?" selidikku.

"Iya, Emak nggak pernah makan sekolahan!"

"Yo, mesti wae. Emak makan nasi! Bukan makan sekolahan!" selorohku berapi-api sambil terkekeh.

"Nggak begitu, Ndhuk! Karena Emak tidak pernah bersekolah, silakan kamu puaskan sampai setinggi-tingginya, biar Emak lega. Masiyo5 Emak tidak bersekolah, kamu harus kuliah! Paham?" lanjutnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun