Pada kesempatan itu dia ungkapkan semua uneg-uneg yang selama ini dipendam. Bahwa dia harus menikah dengan orang lain, padahal hatinya tidak bisa melupakanku. Hidupnya  merasa tidak bahagia, apalagi istrinya yang notabene mantan siswanya itu terlalu protektif. Sampai-sampai speedometer sepeda motor miliknya pun ditulis berapa berangkat dan pulang.
Aku hanya tertawa. Kupikir dia sedang merayu agar bisa balikan. Atau gurauan sambil lalu! Padahal, aku sudah lebih dulu berkeluarga dengan orang yang baru saja kukenal. Ya, aku menikah mendadak karena tidak mau menjadi bahan olokan keluarganya. Jadi, siapa pun yang melamarku, langsung kuterima. Ya, tanpa memandang bibit, bobot, bebet atau apa pun itu.
Menyadari sudah berkeluarga dengan tiga anak, aku harus sangat membatasi diri untuk bertemu dengan mantan, bukan? Itulah mengapa dia selalu gagal bila ingin berjumpa denganku.
Aku berjanji di dalam hati, itulah pertemuan kami yang terakhir. Setelah itu, aku tak mau tahu dan tidak berusaha mencari tahu juga. Menghindari celah dosa saja, sih! Namun, tetiba salah seorang teman seangkatan memberitahukan lelayu alias berita duka.
"Ya, Tuhan. Kau wafat saat Covid melanda. Bagaimana aku bisa mengantarmu ke peristirahatan terakhir?" keluhku dalam sedih dan pilu.
***
4 Maret 2023. Hari ini suami salah seorang teman lama di paduan suara dipanggil Tuhan. Setelah tiga tahun berlalu, aku baru berani keluar rumah dan beraktivitas di luar rumah kembali. Tanpa melihat jadwal pemakaman, aku pun meluncur ke pemakaman yang kudengar sepintas saat ibadah penghiburan kemarin. Ternyata, jenazah belum tiba.
Kulihat  beberapa teman yang kukenal melambai padaku. Namun, hujan rinai makin menderas mulai membasahi bumi sehingga teman-teman pun berhambur mencari tempat berteduh. Beberapa saat kemudian, ambulans tiba. Para penggali kubur sudah menyelesaikan tugas dengan baik. Melalui pelantang diberitakan ibadah hendak dimulai. Segala sesuatunya telah dipersiapkan. Tentu saja di bawah guyuran hujan, para pelayat mencari tempat aman.
Dalam suasana tidak kondusif, aku ikuti prosesi dengan setengah hati. Tiba-tiba, teringat beberapa tahun silam tatkala sang mantan menyanyikan lagu Rachmat Kartolo. Terngiang kembali. Terbayang lagi bagaimana ia selipkan sekuntum kamboja di sela telingaku.
Tentu saja aku hanyut dalam kenangan itu. Tirta netra pun tak kuasa kutolak. Datang membanjir seiring derasnya hujan. Meski berpayung, basah tak dapat kuelakkan.
Tetiba seseorang memelukku dari belakang hingga aku terlonjak. Kaget. Karena  kurang keseimbangan, aku limbung dan terjatuh di sela-sela makam. Kaki terantuk entah oleh apa. Entah siapa pula yang menolongku berdiri, tetapi begitu kulihat makam di depanku, aku kian lunglai.