"Kalau pulang, kau naik apa?" tanyanya suatu saat.
"Kereta api," jawabku.
Jika mengendarai bus antarkota, saat sampai di Karangkates dengan jalan berliku, aku selalu mual, menahan keinginan untuk tumpah. Jika ada penumpang lain yang muntah, aku pun otomatis hendak tumpah juga. Malu, kesal, dan pusing berbaur menjadi satu. Karena itulah, aku lebih senang menggunakan moda transportasi kereta api.
Memang jam keberangkatan tertentu. Jika terlambat pun sudah tidak ada lagi. Selain itu, jarak dari stasiun kereta api di kotaku untuk menuju arah desa tempat tinggalku juga masih jauh. Harus naik delman atau becak yang tentu saja tidak murah. Bisa juga dari stasiun menuju terminal bus naik becak, lalu lanjut naik bus. Rumahku memang di tepi jalan provinsi sehingga bus pun lewat depan rumah. Maka, dengan naik bus sebenarnya lebih cepat, efektif, dan efisien.
Bisa saja sih dari Malang ke Blitar naik kereta api untuk menghindari jalan berliku di Karangkates, kemudian berlanjut dari Blitar menuju Tulungagung naik bus. Dengan demikian, biaya untuk naik delman bisa terpangkas. Hal ini karena dari stasiun Blitar bisa langsung ke jalan besar yang dilewati bus. Jadi, ongkos ke terminal saat itu tidak ada. Apalagi, kalau langsung mengambil tujuan Trenggalek. Lumayan, bisa turun di depan rumah.
Sejak berkenalan dan makin dekat, kalau pulang ke daerah, kami sering bersama-sama. Nah, berlakulah pula Witing tresna jalaran saka kulina. Karena sering berjalan bareng, cinta pun bersemi sedemikian rupa.
***
Berasal dari keluarga pas-pasan, sebisa mungkin kami menghemat pengeluaran. Misalnya, kalau bisa berjalan kaki, kami pun tidak naik kendaraan umum. Dengan demikian, kalau hendak ke toko buku, kami berjalan kaki. Uang transpor bisa digunakan untuk makan.
Nah, suatu saat kami pulang dari toko buku menuju indekos dengan berjalan kaki. Melewati pemakaman cukup panjang. Hujan deras sehingga kami harus berteduh. Satu-satunya tempat yang memungkinkan adalah bangunan di area makam.
Dia yang memiliki suara merdu dan hobi bernyanyi, tiba-tiba bersenandung. Menyanyikan lagu "Menanti di Bawah Pohon Kamboja" yang biasa dikumandangkan oleh Rachmat Kartolo. Lirik lagu tersebut, antara lain berbunyi, 'Menanti di bawah pohon kamboja, datangmu kekasih yang kucinta.'
Saat menyanyikan lagu itu, tepat berada di area pemakaman, sungguh membuat bulu kudukku berdiri.