Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kunanti di Bawah Pohon Kamboja

30 Maret 2024   04:43 Diperbarui: 30 Maret 2024   04:49 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kunanti di Bawah Pohon Kamboja

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Kau kira menikah itu cukup dengan cinta? Jangan bodoh!" kudengar menggelegar dari dapur.

"Dilihat bibit, bobot, dan bebed-nya! Kau paham, tidak?" lanjutnya lantang. "Dari bibit aja gak masuk hitungan! Kami tahu persis siapa dia, bagaimana sejarahnya! Jangan paksa untuk setuju dengan pilihanmu!"

"Ya, aku dengar dengan jelas! Bahkan, masih terngiang-ngiang hingga saat ini! Hampir  setengah abad setelahnya!"

Saat itu aku diajak singgah ke rumahnya. Bagai runtuh langitku mendengar penolakan ibunya seperti itu. Lunglai seluruh sendi ragaku. Patah semangatku!

***

Dia  kakak tingkatku di jurusan yang sama. Dua tahun di atasku. Ketika aku mahasiswa baru, dia siap mengambil sarjana mudanya. Namun, masih ada mata kuliah umum yang harus diambil bersamaan dengan angkatanku.

"Kau terlambat juga?" tanyanya di luar ruang H, ruang mata kuliah umum yang diikuti oleh beberapa jurusan sekaligus.

Aku mengangguk karena belum mengenal dengan baik. Kebetulan kuliah pagi ini aku terlambat harus mencuci dulu.

"Nyucinya sore aja, pagi biar nggak terlambat kuliah!" seru ibu indekosku.

"Tanggung, Bu!"

Nah, terlambat!

Keluarga di desa berpesan agar aku bisa membawa diri dan menitipkan nasib kepada ibu indekos sebagai orang tua kedua. Salah satu cara yang bisa kulakukan adalah dengan bersedia membantu kesulitan beliau. Ibu indekosku memang sudah sepuh. Untuk itulah aku bersedia membantu mengepel lantai, mencuci, dan menguras kamar mandi setidaknya seminggu sekali. Tentu beliau senang sehingga aku memperoleh kasih sayang dan imbalan. Aku hanya diminta memasak nasi sendiri, selebihnya untuk lauk-pauk akan diberi. Waw, banget bukan? Take and give- lah kasarnya! 

Pagi itu aku salah mengantisipasi sehingga akibatnya terlambat beberapa menit. Kebetulan, sang dosen pun tepat waktu. Jadilah, aku terlambat. Namun, bukan hanya aku. Beberapa mahasiswa berderet di luar ruangan.

"Hai, kalian jangan di luar, Nak. Masuklah. Carilah tempat yang masih ada!" tiba-tiba Bapak Dosen membuka pintu dan mempersilakan kami masuk.

"Kucarikan kursi, nanti duduk dekatku, ya!"

Sekali lagi aku hanya mengangguk saja. Pikirku, lumayanlah dicarikan kursi dengan menyeretnya dari kelas lain. Mana berani aku yang mahasiswa baru ini melakukannya, coba?

Dari sinilah perkenalanku dengannya. Pada minggu berikutnya, seperti biasa rambut panjangku kuurai lepas. Akan tetapi, teman-teman yang sudah mengenal, mulai deh usil. Rambutku diikat dengan bangku kuliah yang terbuat dari kayu, atau ditempeli tulisan khas kenakalan mereka, misalnya, "Aku masih gadis!"

Kesal! Malu! Itu kesanku ketika seseorang iseng mengikat rambutku sehingga harus kesakitan saat berdiri hendak meninggalkan kursi. Sementara, tentu saja menjadi bahan tertawaan. Untunglah, si dia tampil membelaku.

"Jangan keterlaluanlah. Kalau rambut tertarik seperti itu kan sakit?" belanya sambil mengurai tali yang mengikat rambutku.

Tentu saja aku kesulitan, tak bisa melakukan sendiri karena yang diikat adalah bagian belakang. Berawal dari dicarikan kursi dan dibela saat teman lain mengganggu itulah, aku mengenalnya secara lebih dekat. Ternyata, kami sedaerah.

"Kalau pulang, kau naik apa?" tanyanya suatu saat.

"Kereta api," jawabku.

Jika mengendarai bus antarkota, saat sampai di Karangkates dengan jalan berliku, aku selalu mual, menahan keinginan untuk tumpah. Jika ada penumpang lain yang muntah, aku pun otomatis hendak tumpah juga. Malu, kesal, dan pusing berbaur menjadi satu. Karena itulah, aku lebih senang menggunakan moda transportasi kereta api.

Memang jam keberangkatan tertentu. Jika terlambat pun sudah tidak ada lagi. Selain itu, jarak dari stasiun kereta api di kotaku untuk menuju arah desa tempat tinggalku juga masih jauh. Harus naik delman atau becak yang tentu saja tidak murah. Bisa juga dari stasiun menuju terminal bus naik becak, lalu lanjut naik bus. Rumahku memang di tepi jalan provinsi sehingga bus pun lewat depan rumah. Maka, dengan naik bus sebenarnya lebih cepat, efektif, dan efisien.

Bisa saja sih dari Malang ke Blitar naik kereta api untuk menghindari jalan berliku di Karangkates, kemudian berlanjut dari Blitar menuju Tulungagung naik bus. Dengan demikian, biaya untuk naik delman bisa terpangkas. Hal ini karena dari stasiun Blitar bisa langsung ke jalan besar yang dilewati bus. Jadi, ongkos ke terminal saat itu tidak ada. Apalagi, kalau langsung mengambil tujuan Trenggalek. Lumayan, bisa turun di depan rumah.

Sejak berkenalan dan makin dekat, kalau pulang ke daerah, kami sering bersama-sama. Nah, berlakulah pula Witing tresna jalaran saka kulina. Karena sering berjalan bareng, cinta pun bersemi sedemikian rupa.

***

Berasal dari keluarga pas-pasan, sebisa mungkin kami menghemat pengeluaran. Misalnya, kalau bisa berjalan kaki, kami pun tidak naik kendaraan umum. Dengan demikian, kalau hendak ke toko buku, kami berjalan kaki. Uang transpor bisa digunakan untuk makan.

Nah, suatu saat kami pulang dari toko buku menuju indekos dengan berjalan kaki. Melewati pemakaman cukup panjang. Hujan deras sehingga kami harus berteduh. Satu-satunya tempat yang memungkinkan adalah bangunan di area makam.

Dia yang memiliki suara merdu dan hobi bernyanyi, tiba-tiba bersenandung. Menyanyikan lagu "Menanti di Bawah Pohon Kamboja" yang biasa dikumandangkan oleh Rachmat Kartolo. Lirik lagu tersebut, antara lain berbunyi, 'Menanti di bawah pohon kamboja, datangmu kekasih yang kucinta.'

Saat menyanyikan lagu itu, tepat berada di area pemakaman, sungguh membuat bulu kudukku berdiri.

"Ah, jangan menyanyi itu!" larangku.

"Dik, besok-besok ... kalau misalnya aku duluan, kamu kunanti di bawah pohon kamboja, ya! Jangan lupa!" selorohnya.

"Ishh, apaan sih!" sewotku.

"Ya, 'kan umur nggak ikut memiliki, tapi aku janji akan menantimu di sini," tegasnya sambil menunjuk pohon kamboja.

"Nggak mau, ah! Menanti kok di bawah pohon kamboja! Kalau pergi duluan, ya tunggulah di pintu gerbang surga!" dalihku mantap.

"Hehe ... mengapa di kuburan kok selalu ditanami kamboja?" tanyanya mengalihkan topik bahasan.

Aku hanya menggeleng.

"Pohon ini bisa menyesuaikan tempat dan dapat tumbuh subur. Selain itu, tidak membuat semak serta bunganya bisa menjadi hiasan cantik. Warnanya pun ada yang putih, kuning, dan pink!" urainya.

"Oh, kukira guguran bunganya bisa menjadi bunga tabur!"

"Bisa juga, sih."

Tiba-tiba ketika agak reda dicarinya guguran kuntum kamboja bermahkota genap dan diselipkan di tepi daun telingaku. Biasa bermahkota lima, tetapi dicarinya yang genap. Ditatanya kuntum itu dengan hati-hati sebagai hiasan rambutku.

"Kamu makin cantik. Seperti putri Bali. Cocok dengan pseudonym kamu, Ni Ayu!"

Ah, barangkali kalau saja membawa cermin, pasti mukaku seperti kepiting rebus! Darah berdesir sontak mengalir ke wajah rasanya.

***

Pandemi 2021. Notifikasi gawai memaksaku untuk melihat isi aplikasi hijau.

"Lelayu ...," tirta netraku memburamkan layar gawai. Langsung lemas seolah tenaga terkuras tuntas.

***

September 2016. Bertahun-tahun tidak bertemu, rupanya rindu membludak. Dia mencari ke sekolah tempatku bekerja sebagai sambilan. Sengaja menunggu karena dilihatnya kendaraan roda duaku terparkir di tepi jalan.

Ketika hendak pulang, aku dicegat dan diajaknya makan di salah satu seafood resto tak jauh dari situ. Aku setuju karena perutku pun terasa minta diisi. Tepat jam makan siang!

"Silakan habiskan, Dik. Aku terkena diabet," katanya.

"Loh, lah pesan sebanyak ini?"

"Nggak apa-apa. Nanti sisanya bisa kaubawa pulang!"

Pada kesempatan itu dia ungkapkan semua uneg-uneg yang selama ini dipendam. Bahwa dia harus menikah dengan orang lain, padahal hatinya tidak bisa melupakanku. Hidupnya  merasa tidak bahagia, apalagi istrinya yang notabene mantan siswanya itu terlalu protektif. Sampai-sampai speedometer sepeda motor miliknya pun ditulis berapa berangkat dan pulang.

Aku hanya tertawa. Kupikir dia sedang merayu agar bisa balikan. Atau gurauan sambil lalu! Padahal, aku sudah lebih dulu berkeluarga dengan orang yang baru saja kukenal. Ya, aku menikah mendadak karena tidak mau menjadi bahan olokan keluarganya. Jadi, siapa pun yang melamarku, langsung kuterima. Ya, tanpa memandang bibit, bobot, bebet atau apa pun itu.

Menyadari sudah berkeluarga dengan tiga anak, aku harus sangat membatasi diri untuk bertemu dengan mantan, bukan? Itulah mengapa dia selalu gagal bila ingin berjumpa denganku.

Aku berjanji di dalam hati, itulah pertemuan kami yang terakhir. Setelah itu, aku tak mau tahu dan tidak berusaha mencari tahu juga. Menghindari celah dosa saja, sih! Namun, tetiba salah seorang teman seangkatan memberitahukan lelayu alias berita duka.

"Ya, Tuhan. Kau wafat saat Covid melanda. Bagaimana aku bisa mengantarmu ke peristirahatan terakhir?" keluhku dalam sedih dan pilu.

***

4 Maret 2023. Hari ini suami salah seorang teman lama di paduan suara dipanggil Tuhan. Setelah tiga tahun berlalu, aku baru berani keluar rumah dan beraktivitas di luar rumah kembali. Tanpa melihat jadwal pemakaman, aku pun meluncur ke pemakaman yang kudengar sepintas saat ibadah penghiburan kemarin. Ternyata, jenazah belum tiba.

Kulihat  beberapa teman yang kukenal melambai padaku. Namun, hujan rinai makin menderas mulai membasahi bumi sehingga teman-teman pun berhambur mencari tempat berteduh. Beberapa saat kemudian, ambulans tiba. Para penggali kubur sudah menyelesaikan tugas dengan baik. Melalui pelantang diberitakan ibadah hendak dimulai. Segala sesuatunya telah dipersiapkan. Tentu saja di bawah guyuran hujan, para pelayat mencari tempat aman.

Dalam suasana tidak kondusif, aku ikuti prosesi dengan setengah hati. Tiba-tiba, teringat beberapa tahun silam tatkala sang mantan menyanyikan lagu Rachmat Kartolo. Terngiang kembali. Terbayang lagi bagaimana ia selipkan sekuntum kamboja di sela telingaku.

Tentu saja aku hanyut dalam kenangan itu. Tirta netra pun tak kuasa kutolak. Datang membanjir seiring derasnya hujan. Meski berpayung, basah tak dapat kuelakkan.

Tetiba seseorang memelukku dari belakang hingga aku terlonjak. Kaget. Karena  kurang keseimbangan, aku limbung dan terjatuh di sela-sela makam. Kaki terantuk entah oleh apa. Entah siapa pula yang menolongku berdiri, tetapi begitu kulihat makam di depanku, aku kian lunglai.

Pada batu nisan tempatku terjatuh tadi, tertulis jelas namanya! Ya, nama mantan lengkap dengan tanggal lahir dan kapan dia wafat. Pandanganku kian mengabur!

Sayup-sayup kudengar audible, "Menanti di bawah pohon kamboja, datangnya kekasih yang kucinta!"

Sekuntum mahkota bunga kamboja tepat menjatuhi kepalaku, seolah-olah seseorang sengaja melemparnya! Aku pun tergugu dalam sendu!

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun