“Mbah. Coba aku diramal sopo jodohku”. Ucap Seruni kepada mbahnya yang dikenal sebagai peramal di desanya. Mbah Mintoharjo memang sangat dikenal sebagai paranormal ulung sejajar dengan Permadi. Tak heran rumah mbah Min, biasa ia dipanggil selalu kedatangan tamu yang datang dan pergi setiap hari, kecuali hari pasaran Rebo pahing mbah Min tidak menerima tamu. Meskipun mbahnya seorang peramal tapi Seruni tak pernah ingin diramal, begitu pun dengan mbah Min tak ingin menerawang nasib cucu kinasihnya.
“Coba rene toh Nduk, mbah dhelok telapak tanganmu”. Jawab Mbah Min sambil nyruput kopi luawak keramenannya. Seruni mendekat dengan manja sambil duduk di samping mbah-nya dibalai bambu tempat mbah Min biasa istirahat. Di samping balai bambu terdapat sangkar manuk perkutut yang dipanggil Darno keramenan mbah Min. Sesakali waktu mbah Min, ngajak Darno ngomong, cerita soal pageblug virus Corona sing agi merajalela.
“Iki mbah”. Jawab Seruni manja sambil menjulurkan tangannya.
“Sit, toh Nduk sabar, mbah tak cerito sit karo Darno”
“Cerito opo toh mbah”. Seruni sedikit kesal tapi tak berani melawan mbahnya.
“Mbah, Darno ra bakalan ngerti cerita mbah, mboten paham mbah?”.
Terkadang Seruni cemburu kepada Darno, karena mbahnya lebih sayang kepada Darno, tapi Seruni kecil tak berani berontak.
“Nek kamu yang ngomong, Darno ra ngerti Nduk, margo kamu ra ngerti dunia kebatinan”. Kata mbah Min sambil terus mengajak Darno berbincang sampai akhirnya Darno suaranya koooong manggung dan mba Min mangut-mangut.
“Mana tanganmu”. Ucap mbah Min seraya duduk kembali dibalai bambu.
“Iki, mbah”. Seruni menjulurkan tangannya. Dipegangnya tangan Seruni cucu wedhok siji-sijinya katresnasane mabh Min.
Dipegannya tangan Seruni oleh mbah Mintoharjo, khusyuk mbah Min melihat tepalak tangan Seruni. Matanya dipejamkan seolah mulutnya berkomat-kamit membaca doa atau mantra yang tak pernah diketahui Seruni. Beberapa saat mbah Min memejamkan matanya kemudian matanya terbuka, dilihatnya telapak tangan Seruni begitu serius, diamatinya garis-garis di telapak tangan cucunya, kemudian bibirnya tersenyum.
“Pripun mbah, siapa jodohku kelak?” Seruni tak sabar menunggu hasil penerawangan mbahnya.
“Wah…Nduk, jodohmu iku apik tenan”
“Sae pripun toh mbah”. Seruni tak sabar menunggu penjelasan mbah Min. Darno, perkutut kesayangan mbah Min malah sing jawab dengan siulannya yang gandang membuat mbah Min mangut-mangut seneng.
“Wis ditunggu yang sabar nduk, jodohmu iku pria sing bibit bobote apik tenan”. Mbah Min melepaskan tangan Seruni.
“Yo mbah, terus inisialnya apa?”. Seruni merajuk penasaran seperti anak kecil minta dibelikan boneka mainan.
“Inisialnya P, Nduk “.
“Waaah, mbah iki bikin aku penasaran”. “Lengkapnya siapa mbah?” Jawab Seruni merajuk.
“Wis, ditunggu ae, mogo-mogo Gusti sing maha Agung meridhoi”. Seruni hanya terdiam, antara percaya dan tidak percaya. Seruni kecil tak pernah tahu tentang dunia kebatinan yang diugemi mbahnya.
“Mbah, kopinya nambah malih mboten?’
“Cukup Nduk, Mbah ngaso ndisit, iki primbon Betaljemur mbah disimpan”.
Seruni menerima primbon Betaljemur dan membiarkan mbah Min tiduran dibalai bambu, suara siulan Darno nyaring terdengar. Angin sore menyapa semilir sejuk di kediaman Seruni. Rumah sederhana dengan bilik bambu yang dianyam sendiri oleh mbahnya. Rumah mungil di kaki bukit Wirotapan menjadi masa kecil terindah Seruni dengan mbahnya dan kedua orang tuanya yang petani durian.
Kini, Seruni sudah menjadi wanita dewasa yang sangat cantik, dan bekerja di sebuah perusahaan swasta ternama di Jakarta. Seruni pun sudah lupa akan ramalan jodohnya beberapa tahun silam, namun bila teringat terkadang Seruni tersenyum sendiri. Tersenyum bukan karena percaya dengan ramalan mbah Min, tapi tersenyum mengingat masa kecilnya yang lucu. Pernah suatu ketika Seruni dimarahi mbahnya karena bermain layang-layang dan gundu sepertinya layaknya seorang lelaki. “Masa kecil yang indah” batin Seruni sambil menunggu jam pulang kantor dan hujan reda.
Ruangan kantor sepi, semua karyawan sudah meninggalkan kantor, dan Seruni yang paling akhir ke luar dari kantornya. Hujan tambah lebat berteman guntur dan kilat yang saling menyambar. Seruni berjalan menuju halte yeng terhubung dengan halaman kantor. Jalan Hayam Wuruk terasa sepi dan lenggang, hanya beberapa mobil yang melintas, tapi Seruni tetap sabar menunggu busway.
“Boleh saya duduk?”. Sapa seorang pria dengan sopan.
“Silahkan”. Jawab Seruni sambil bergeser duduknya.
Tak ada obrolan, keduanya terdiam. Tetes hujan menjadi musik indah sore itu. Seruni sibuk dengan hape-nya dan pria di sampingnya pun demikian. Hujan semakin deras berbarengan dengan suara petir yang mengelegar dan mengagetkan Seruni, tak sadar Seruni memeluk pria yang duduk di sampingnya, cukup lama sampai rasa takut benar-benar hilang. Pria yang dipeluk Seruni pun diam tak berontak, hingga akhirnya berucap “Anda takut dengan petir?”
Refleks Seruni melepasnya pelukannya dengan wajah memerah karena malu.
“Maaf, saya telah tidak sopan kepada Anda”. Katanya lirih menahan rasa malu.
“Enggak apa, kenalkan saya Pambudi”. Lelaki di sampingnya menggulurkan tangannya pada Seruni. Seruni menyambut tangan pria yang dipeluknya tak sengaja.
“Runi, Seruni”, Jawabnya malu tertunduk.
Obrolan antara Pambudi dan Seruni berlanjut, kebetulan keduanya pulang dengan rute yang sama. Tujuan akhirnya adalah Bidara Cina .
Sejak saat itu, komunikasi antara Seruni dengan Pambudi semakin akrab, tak disadari benih cinta diantara keduanya tumbuh dalam taman hati kedua anak Adam. Pambudi seorang pelatih dan instruktur renang yang dipercaya Persani adalah pria asli Pacitan. Dunia renang sudah digelutinya dari usia remaja.
“Mas, saya disuruh pulang oleh mbah”. Kata Seruni di suatu hari ketika sedang menikmati liburan kerja di sebuah warung sate bebek Kaliyo.
“Oh, ya kapan?”. Jawab Pambudi sambil terus menyantap sate Bebek Kaleyo.
“Tapi, mas….”. Seruni tak berani melanjutkan kalimatnya.
“Tapi apa, Runi?”. Pambudi menatap wajah Seruni yang sedikit grogi dari biasanya.
“Mbah, bilang mas harus ikut pulang saya”. Seruni menunduk dan tak berani mengatakan sejujurnya isi wejangan mbah dalam pesan singakat di whatsApp Seruni bahwa Pambudi adalah lelaki yang diramal mbah melalui garis di tepalak tangan Seruni.
“Alhamdulillah Runi, saya sebenarnya juga ingin ikut, ingin kenal dengan mbahmu iku?’. Pambudi mengenggam tangan Seruni yang berkeringat karena grogi.
“Besok saya pesan dua tiket kerata api untuk kita berdua”. Pambudi menatap wajah Seruni penuh cinta, dan Seruni hanya bisa menuduk menyembunyikan rasa groginya.
Lagu lawas dari Titik Sandora yang berjudul “Bunga Sakura” serasa menjadi saksi bisu kemesraan kedua anak Adam yang mulai jatuh hati.
*****************************
Kerata api Argo Dwipangga meluncur dengan cepat dari stasiun Gambir tepat pukul 08.30 menuju stasiun Tugu Jogyakarta. Tak ada kata serius selama perjalanan pulang ke Jogya antara Seruni dan mas Budi. Seruni kembali mengingat ramalan mbah Min beberapa tahun yang lalu bahwa jodohnya adalah berinisial “P”. Dan entahlah, apa karena kebetulan atau memang penerawangan mbah yang luar biasa, ia menyuruhnya pulang dengan teman lelakinya yang sekarang sedang dekat dengannya. Seruni tak berani mengatakan pada mas Budi, ia simpan rapat ramalan mbahnya sewaktu SMA dulu.
Argo Dwipangga memasuki stasiun Tugu tepat pukul 16.25, Mereka menuruni tangga kereta dan langsung memesan Gocar untuk membawanya ke Wirotapan, sebuah dusun kecil di kaki bukit. Hati Seruni terus bergemuruh, grogi dan takut bila mas Budi ini adalah lelaki yang diterawang mbahnya menjadi jodonya.
“Runi, ada apa denganmu, kau sakit?. Wajahmu terlihat pucat”. Suara Pambudi membuyarkan kekuatiran Seruni.
“Engak Mas”. Jawab Seruni menutupi kegugupannya.
“Sudah masuk dusun Wirotapan Runi” Mas Budi memegang pundak Seruni
“Iya, Mas, rumahku persis di atas kaki bukit itu”. Jawab Seruni sambil menunjuk bukit di depan matanya.
Akhirnya setelah hampir satu jam perjalanan dari stasiun Tugu, Seruni sampai juga di halaman rumahnya. Mereka turun dari mobil yang membawanya setelah mas Budi membayar tarif yang tertera diaplikasi Gocar. Mereka perlahan menuju rumah yang terlihat asri dan begitu sepi, dengan kanan kiri berjajar pohan durian dan duku hasil tanaman bapaknya dan mbah Min. Sayup terdengar suara nyayian tembang Jawa Sinom Parijotho dari dalam rumah berbilik anyaman bambu.
“Runi, tunggu dulu, jangan kamu ketuk pintunya”. Suara mas Budi menghentikan langkahnya.
“Ada apa mas?”, sahut Runi.
“Biarkan dulu tembang itu selesai Runi, aku suka mendengarnya”
“Iya Mas, itu suara mbah”. Lirih Seruni menjawab.
Anger-anger putraningsun
Lah tangi yoo dipun aglis
Iki wis wayah awan
Mundak kasep anak mami
Nuli gregah yoo tangi
Menyang jamban perlu adus
Dupeh rampung pra dandan
Sarapane wis cemawis
Sega gudeg, tege cuer nganggo gula
“Mlebu Nduk, ojo meneng ae neng njobo”. Suara mbah dari dalam rumah membuart Seruni dan Pambudi aling berpandangan.
“Njih mbah, Assalamualaikum”
“Waalaikum salam, cah ayu?, koncomu iku ya diaturi mlebu toh Nduk? Ora mendhel ae?”
“Mbah, nepangke kulo Pambudi rencang Seruni dari………”.
“Iyo, mbah wis ngerti Le”. Mbah memotong kalimat mas rie yang belum selesai.
Seruni dan Pambudi saling berpandangan, kemudian mbah Mintoharjo berjalan mendekatinya kemudian memeluknya erat-erat sambil berucap: “Gusti Moho Agung ra nate sare maringi kebahagian kanthi tulus lan ikhlas”.
Semuanya terdiam, hening sayup kumandang adzan Magrib bergema mengetarkan jiwa Seruni dan Pambudi. Bukit Wirotapen terasa hening, Darno burung perkutut mbah Min juga diam seolah memahami apa yang dirasa oleh majikannya yang sedang sangat bersuka cita. Kerlap kerlip kunang-kunang menghiasi malam yang semakin larut, menidurkan harapan yang bertepi diantara hati Seruni dan Pambudi selama satu tahun perjalanan cintanya. Kini mereka telah membentuk rumah tangga yang sikinah dan memiliki seorang putri bernama Kinanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H