Bagian (4) : Selamat Datang Jakarta
Sepulang dari kampus, aku mengunci diri di kamar kostku. Merebahkan diri sejenak melepas lelah. Sambil aku buka buku-buku terkait info penerimaan mahasiswa baru. Sejak seminggu terakhir ini, memang aku terus mencari-cari informasi tentang pembukaan seleksi penerimaan mahasiswa baru. Tekadku sudah bulat untuk mewujudkan impianku untuk kuliah kedokteran di Jakarta. Memang aku tipe orang yang keras jika memiliki suatu keinginan harus dapat terwujud. Tentu dengan kerja keras dan bukan dengan berdiam diri duduk termenung saja.
“Nak, Laras”, terdengar suara memanggil ibu Kost di luar.
“Njih, bu sebentar”, jawabku. Sambil merapikan baju aku bergegas keluar dari kamar.
“Ini tadi ada surat untukmu”, ujar bu Kost sambil menyodorkan sepucuk surat beramplop putih.
“Oh, matur nuwun bu”, aku pun senang menerima sepucuk surat yang sepertinya dari kedua orangtua ku di Kampung.
Aku langsung masuk kamar dan bergegas membuka surat itu. Sudah lama kangen ingin mendengar kabar dari bapak dan ibu nun jauh di sana. Bapak dalam suratnya mengabarkan bahwa kabar mereka berdua baik dan sehat-sehat saja. Bapak juga mengabarkan keadaan keluarga di kampung dan tidak lupa menanyakan keadaan aku di rantau. Pesan kedua orangtuaku jelas dalam surat itu yaitu agar aku selalu menjaga kesehatan dan ibadah serta selalu semangat dalam belajar. Kuciumi surat itu berkali-kali tanda takzim dan mengobati rasa rinduku yang meluap-luap karena sudah lama tidak bersua.
Aku bereskan lembar-lembar surat dan kusimpan yang rapi di tempatnya. Ku lanjutkan menerawang dan menuliskan cerita hari ini di halaman diariku. Segala asa dan rasa kutumpahkan padanya, kurajut kata-kata sepenuh jiwa kepada diariku yang selalu setia setiap saat menampungnya dan tidak akan pernah sekalipun menolak segala keluh kesahku.
Di liburan semester ini aku berencana akan ikut ujian penerimaan mahasiswa baru lagi. Tekadku mendaftar kuliah kedokteran di Jakarta sudah bulat. Tentu secara diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Jika sudah lolos dan dinyatakan diterima barulah aku akan memberanikan diri memberitahu kedua orang tuaku. Mas Tito pun tidak aku beritahu soal ini. Entah. Tidak ada keberanian diriku untuk menceritakannya. Aku memang tipe yang teguh memegang prinsip namun sedikit tertutup.
***
“Dik, bagaimana kalau kita ke perpustakaan?”, sapa Mas Tito membuyarkan sedikit lamunanku pagi itu.