“Assalammualaikum” terdengar anak kunci pintu di putar. Seraut wajah Bu Karto menyembul di bingkai pintu.
“Waalaikumsalam. Masya Allah, nak Laras. Pripun kabare cah ayu ? ( Bagaimana kabarmu cantik). Bu Karto menjerit histeris dan memelukku.
“Alhamdulillah, baik bu. Pripun kabare ibu ? (Sehat bu, ibu sendiri bagaimana kabarnya). Aku tersenyum sumringah melihat Bu Karto yang semakin gendut.
“Alhamdulillah, apik nak Laras. Ki nambah mbulet awak’e (Sehat nak Laras, yaa seperti tambah bulat) matanya mengerling jenaka.
Aku dan Bu Karto melepas kangen. Dengan rinci aku menceritakan kepergianku dari Jogjakarta.
Beliau sangat bersyukur, mendengar aku berhasil menggapai impianku. Tak berapa lama Peni muncul. Ia baru pulang dari kuliah.
Peni memelukku erat, airmatanya berlinang demikian juga aku. Ia merasa kehilangan teman, dan sedikit marah karena aku tak menjelaskan kepergianku.
Bersama Peni aku menyambangi kostan Mas Tito. Kangenku yang menggunung ingin kutumpahkan dengan memandang senyumnya yang teduh.
Harapanku retak, luruh hatiku dalam kekesalan. Tak kutemui senyum teduh dan tatap mata elang Mas Tito.
Apa daya ternyata Mas Tito dan Irfan pindah kostan empat bulan yang lalu. Penghuni di kostan tak tahu di mana alamat Tito dan Irfan yang baru.
Peni menemaniku ke kampus, siapa tahu Tito berada di sana. Dengan langkah pasti dan rindu yang memenuhi lipatan hatiku, mataku nyalang mencari sosok yang kurindui di kampus lamaku.