“Eh, iya Mas. Kamu nggak ada kuliah hari ini?”, tanyaku sedikit gugup sambil membereskan perlahan lembaran berkas di tanganku dan segera memasukkan ke dalam tasku. Saat Mas Tito datang, aku sedang membaca lembaran informasi tentang penerimaan mahasiswa baru tahun ini. Aku memang tidak ingin seorang pun tahu bahwa aku ikut Sipenmaru lagi.
“Tidak dik”.
“Kebetulan dosenku hari ini sedang ada seminar di luar kota, sehingga hanya asisten dosen yang mengisinya dengan memberikan tugas mandiri kepada kelas kami,” lanjut Mas Tito.
“Oh, begitu”.
“Kalau begitu sama denganku. Hari ini jadwalku hanya satu mata kuliah, dan setelah ini kosong. Siang nanti setelah istirahat baru satu mata kuliah lagi”
“Oke, ayuk kita segera ke perpus, semoga belum ramai”, ajakku.
Kami pun menuju perpustakaan pusat universitas. Tempat favorit ku semasa kuliah. Dahagaku membaca terpuaskan jika di sana. Kesukaan aku membaca telah tumbuh sejak remaja. Hadiah atau pemberian yang aku selalu minta dari kedua orang tua jika naik kelas hanyalah buku. Melalui buku kita bisa menginjakkan kaki di belahan dunia manapun. Dengan buku imajinasi kita dan wawasan kita menjelajah menembus ruang dan waktu. Buku adalah jendela dunia memang kata yang tepat.
“Mas, aku mau cari sesuatu dulu di ruang baca media massa dulu ya, nanti kita ketemu di ruang baca utama, oke”, pintaku.
“Oke, siap”, jawab Mas Tito sambil tersenyum.
Aku bergegas menuju ruang media massa tempat bacaan koran dan majalah. Sempat aku lihat-lihat koran nasional dan lokal sejenak, mencari berbagai informasi yang aku butuhkan. Setelah selesai, aku kembali mencari Mas Tito di ruang baca utama.
“Sudah ketemu yang kau cari, Laras?”