Mohon tunggu...
Ninda Ardhita
Ninda Ardhita Mohon Tunggu... Novelis - Pecinta Sastra

Penulis Fiksi, Tips, Fashion, Binatang, Kosmos, dan Sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asmarandana Bhadrika Dharma

6 Desember 2023   09:25 Diperbarui: 6 Desember 2023   09:32 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seekor rusa menggelepar setelah sebuah panah yang kulesatkan dan menancap menembus jantungnya jantungnya. Aku keluar dari tempat persembunyianku. Kutepuk dada kiriku yang semula terasa dihinggapi kerumunan nyamuk. Setelah aku memastikan jika rusa itu telah benar-benar mati, aku memanggul hewan malang itu dengan sebelah bahu.

Aku berjalan ke arah perbatasan hutan. Sekumpulan prajurit pengikutku segera mengambil alih rusa yang semula bermanja pada bahu kekarku. Anak panah serta busur kuserahksn kepada mereka. Aku membersihkan badanku dengan sebuah kain lembab yang telah diberi wewangian.

"Bhadrika!"

Aku menoleh mendapati suara Tanwira. Sahabat yang selalu mengikutiku ketika melakukan kegiatan berburu.

"Hebat sekali dirimu. Sampai mendapatkan rusa sebesar itu."

Aku hanya menjawab dengan deham dan menaiki kudaku. Kujalankan kudaku dengan diikuti Tanwira yang menjalankan kuda melipir ke arahku.

"Kudengar kau akan segera menikah dengan si putri dari Kerajaan Wahya?"

"Ya, dia kekasihku dari balita."

Tanwira tertawa kencang mendengar kalimat konyol dari belah bibirku. Ia menggelengkan kepalanya sembari masih tertawa.

"Jangan bilang kau akan menemuinya lagi di pinggir sungai itu?"

Aku menyeringai mendengar perkataan Tanwira.

"Itu saran yang bagus."

"KAU SUDAH GILA?!"

Aku hanya terdiam dan terus menjalankan kuda yang tengah kutunggangi.

"Bhadrika Maharajasa Wijaya! Aku sungguh tidak kuat jika mendengar suara dosa yang kalian hasilkan!"

"Maka carilah kekasih agar tidak merasa terus menerus iri dan mengikutiku kemana-mana seperti kau menyukaiku."

Tanwira terlonjak kaget dengan ucapanku. Sementara aku tergelak melihat reaksinya.

"Tidak ada yang sukarela mencintai seorang putra bodoh dari penasihat kerajaan seperti aku."

Tanwira bergumam dengan lirih.

"Kalau begitu, manfaatkan ketampananmu."

"Bahkan ketampananku tidak bisa menandingi separuh ketampanan dari Bhadrika Maharajasa Wijaya yang merupakan Putra Mahkota dari Prabu Brahmajaya."

"Kalau begitu ikuti aku terus sampai kau dirumorkan kembali sebagai pria gila yang menyukai seorang pewaris tahta Kerajaan Dharma."

Delikan garang muncul dari wajah Tanwira. Aku hanya terkekeh mendapati delikan murka dari kalimat penghinaanku tadi. Kuhentakkan tali kekang agar kudaku berlari lebih kencang. Meninggalkan Tanwira dengan para prajurit pengikutku. Sebab mereka telah hafal aku ingin menuju ke arah mana.

------

Terdengar suara gemericik air di telingaku. Angin damai menyapa dengan dedaunan kecil yang beterbangan.

Aku turun dari kudaku dan mengikatnya pada sebuah pohon kokoh. Aku melihat para dayang yang telah berjejer menyapaku dengan menundukkan kepala mereka.

Aku melepaskan ikatan tali kepalaku. Kuhampiri seorang wanita dengan kain tipis yang tengah duduk tenang di bebatuan pinggir sungai. Ketika aku menceburkan kaki di air sungai yang tenang, wanita cantik itu menoleh ke arahku.

Aku menengok ke arah dimana tadi adanya para dayang. Mereka sudah tidak lagi berada di tempat. Entah mungkin mereka sedang bersembunyi di balik pepohonan atau mendekam di balik bebatuan besar.

"Kenapa kau tidak pernah bau, padahal kau dari melakukan perburuan? Bahkan aroma wangi apa ini yang dibalutkan pada tubuhmu?"

Aku tersenyum ketika kalimat panjang itu terlontar dari bibir lembab milik wanita ini. Aku mendekat dan berdiri di depannya. Kuberikan ikat kepalaku kepadanya seraya sedikit menundukkan badan hanya untuk melihat jelas wajahnya.

"Lelahku menghilang setelah melihatmu, Samahita."

Aku melihat semburat menyala dari pipinya yang mengembang. Senyuman manis ia lemparkan padaku. Pesona seorang Samahita Prameswari tidak pernah dapat kutolak.

"Aku merindukanmu, sayang..."

Aku tersenyum tenang memandang Samahita yang mendayukan nada manja. Aku menarik dagunya. Seperti yang sebelumnya telah terjadi, kedua belah bibir antara milikku dan Samahita bertempur dengan sengit. Meliuk-liukkan lidah sembari kedua tangan kami saling memanjakan tubuh lawan.

Kami berakhir dengan pakaian yang tersampir di bebatuan, memberikan kepuasan satu sama lain. Meneriakkan nama lawannya dengan garang. Bahkan bunyi kecipak air ikut meramaikan setubuhanku dengan sati-satunya wanita yang kucintai dari kecil selain mendiang ibundaku.

------

Aku menghampiri Samahita di dalam sebuah ruangan yang selalu kami gunakan untuk sekedar berbincang atau melakukan cumbuan manis di sudut istana milik ayahandanya.

Aku menghentikan langkahku ketika melihat penampilannya yang cukup kuyu. Senyuman yang sedari tadi kutampung dan siap kupersembahkan padanya-pun menguap. Aku bertanya padanya apakah ia baik-baik saja, namun ia menjawab dengan senyuman dan berkata bahwa ia baik baik saja.

"Kenapa tiba-tiba?"

Aku tersenyum kepadanya. Kupeluk badannya yang terasa mungil dalam dekapanku.

"Kenapa? Bukankah kau menyukai kejutan?"

Samahita meremat bahuku dan merangkul leherku. Kemudian ia tenggerkan bibirnya yang basah menjelajahi leherku.

------

Samahita terlalu bersemangat dalam melakukan pertunjukan di atasku. Ia bagaikan sedang melakukan pacu kuda dengan menumpukan tangannya di dada bidangku. Aku meraih pinggulnya dan menyelesaikan pertempuran dengannya. Mengeluarkan benih suci dengan kesetenan.

Tubuh Samahita lemas di atas tubuhku. Peluh kami menyatu. Wewangian harum kami merebak bercampur dengan aroma percintaan yang pekat.

Aku mengatur napasku. Sungguh malam ini sangat menggairahkan. Samahita tiba-tiba datang menemuiku yang tengah terbaring sakit di atas ranjang. Ia membuka seluruh kain yang melekat di tubuhnya. Samahita berkata bahwa ini adalah satu-satunya ramuan mujarab untukku.

Aku tak masalah dengan semua gerakannya yang nampak seperti melampiaskan sebuah kemarahan. Aku hanya dibutakan oleh kabut birahi yang menyelimuti jiwa dan ragaku.

"Bhadrika, boleh aku bertanya padamu?"

Aku membelai rambutnya yang indah dengan penuh kasih.

"Tentu. Apa yang sangat ingin kau tanyakan?"

"Aku tidak sengaja melihat sahabat bodohmu tengah bercumbu dengan seorang wanita. Hey, apakah si bodoh itu sudah menyukai wanita?"

Aku tertawa kencang mendengar hinaan yang tercetus dari bibir legitnya. Aku menghapus air mataku yang tiba-tiba keluar karena terlalu bernafsu untuk tertawa.

"Mungkin tujuh hari? Tanwira melakukan hubungan gelap dengan salah satu dayang utama kerajaan. Aku rasa mereka berdua telah jatuh cinta. Kenapa? Kau masih mengira aku berselingkuh dengan Tanwira?"

Samahita merengut sebal setelah mendengar gurauanku. Aku mengecup lembut bibirnya. Entah mengapa perasaanku sangat tidak tenang.

------

Kini aku tengah menyamar sebagai orang biasa yang berkeliling di pusat perbelanjaan. Aku tengah mengenakan pakaian sederhana dan sebuah kain yang membebat separuh dari wajahku. Hanya kedua mata elangku yang masih terlihat. Puluhan wanita yang kulewati berusaha menggodaku entah apakah karena tubuhku yang kekar dan tegap hingga mereka menjadi kewalahan menahan birahi.

Aku sering melakukan penyamaran seperti ini hanya untuk sekedar berkeliling melihat beberapa kelakuan licik dan liar beberapa penduduk kerajaan. Ayahanda selalu menanamkan pada benakku jika keadilan terkadang tidak tersampaikan kepada seluruh ujung jari setiap orang. Jadi semenjak aku remaja, aku selalu melakukan kegiatanku ini. Hanya aku dan ayahanda yang mengetahui.

Mataku beralih pada sebuah kedai yang menjual berbagai perhiasan rambut. Ku raih salah satu sisir cantik berhiaskan berlian dan terbuat dari bahan emas. Sungguh Samahita pasti akan merasa sangat gembira jika aku hadiahkan barang secantik ini.

Aku mengambil sisir dan menukarnya dengan sekantong emas. Penjual itu tergopoh dan bersujud di kakiku setelah mendapat kantong berisi kepingan emas itu. Aku langsung berjalan meninggalkan tempat itu, merasa takut jika menarik banyak perhatian.

Langkahku terhenti ketika telingaku menangkap lengkingan manja yang terdengar tidak asing di pojok kedai kosong tidak jauh dari tempat aku berdiri. Mataku mencelos mendapati Samahita sedang bercumbu dan bergelayut manja pada badan cungkring pria yang berada di hadapannya.

Dan demi Tuhan!

Pria itu adalah Tanwira. Sahabatku sendiri yang dengan beraninya mengenggam pinggang ramping Samahita. Aku meremat kencang sisir cantik tang tengah aku genggam sedari tadi. Darah berkucuran dari telapak tangan. Kulemparkan sembarang sisir itu dengan segenap emosi yang aku miliki. Dengan napas yang memburu, kukendarai kudaku dengan kencang.

Sesampainya di kerajaan, aku melepaskan kain yang menutupi separuh wajahku. Aku tidak peduli dengan pandangan dari para pembersih aula istana.

Aku menghadap di hadapan ayahanda dengan hati yang hancur lebur. Ayahanda turun dari singgasana tempat beliau duduk. Ayahanda menenangkanku dengan pelukan hangat kepadaku yang menangis meraung-raung merasakan patah hati. Memeluk putra semata wayangnya yang tengah dirundung kekelaman.

Sungguh aku menyadari telah dua purnama aku jarang menemui Samahita karena kesibukanku menyiapkan persiapan untuk penyambutan dari kunjungan negeri seberang. Namun kacaunya aku sekarang sebab ternyata Samahita yang begitu sabar dan tenang menungguku hanya karena dia juga telah memiliki pria lain di hidupnya.

Aku mengucapkan dengan tegas bahwa aku ingin memutuskan perjodohanku dengan Samahita dan tidak ingin kembali berhubungan dengannya. Ayahanda mengangguk tegas dan menuruti kemauanku. Sungguh aku hanya ingin seperti ayahanda yang hanya cukup mencintai seorang wanita dalam hidupnya yaitu mendiang ibundaku. Sialnya, aku bertemu wanita sinting yang benar-benar salah.

------

Aku menghela napas sambil mengelus kuda kesayanganku. Kemudian aku duduk di sebelah wanita cantik yang tengah memakan sebuah apel dengan tenang sambil menggambar awan di atas langit dengan jemari tanganya yang lentik.

Aku melepas kain yang menutupi wajahku. Aku tersenyum memandang tingkah lakunya.

"Jangan tersenyum, bodoh. Kau kira aku tidak menyadari?"

Kata-kata yang entah mengapa lebih kusukai daripada pujaan. Aku merebahkan tubuhku di atas rerumputan yang terasa lebat. Aku ikut memandangi awan-awan yang nampak saling berkejaran.

"Sampai kapan kau akan di sini? Aku bertaruh pasti ayahandamu tengah kalang kabut mencari keberadaan putra manjanya."

Aku terkekeh mendengar kalimat mencibir itu.

"Kau kira semua pangeran kerajaan semanja itu?"

"Ya, termasuk engkau yang sangat teramat manja."

Aku hanya tersenyum memandangi seorang wanita cantik di sampingku ini. Cendikiawan cantik. Satu-satunya cendikiawan wanita di negeriku. Satu-satunya pula yang dengan menatapku, ia dapat menyadari bahwa aku adalah seorang Bhadrika Maharajasa Wijaya. Sampai sekarang aku masih merasa takjub betapa ajaib wanita ini.

Berbeda jauh dengan Samahita yang diam-diam licik. Ahh.. Samahita. Aku tidak menampik jika aku terkadang merindukannya. Mengingat kami berdua sejak kecil berteman begitu erat. Namun ketika aku berniat kembali berteman dengannya, hatiku menolak mentah-mentah.

Aku mengingat bagaimana mata-mataku menemukan berbagai bukti bahwa selama ini Samahita yang terhormat di kerajaannya dengan sukarela menjajakkan tubuhnya pada para prajurit bahkan pelayan di kerajaannya. Aku tidak habis pikir telah hampir menikahi sosok liar seperti Samahita.

Helaan napas kembali kukeluarkan. Tiba-tiba aku mendengar suara tawa kecil bak rintikan lembut embun. Aku kembali menatap wanita yang entah sejak kapan ikut tertidur di sampingku.

"Kau terlihat jelek jika tengah berpikir keras terlalu keras, calon prabu."

Aku tertawa bukan hanya karena candaan manisnya. Namun juga karena merasa gemas mendengar suara kikikan tawanya yang bahkan membuat kudaku merasa nyaman mendengarnya.

Aku dan wanita ini bukan sepasang kekasih. Bukan pula suami dan istri. Entah kami itu apa. Bagiku, ia bagaikan ramuan yang menyembuhkan lukaku hingga tak berbekas. Hanya karena mendengar celaan dari mulut tajam dan manisnya, aku dapat tersenyum. Entah perasaan apa yang tengah aku terka. Yang aku rasakan bahkan tidak dapat kutulis dalam berapa kitab atau mungkin jutaan kitab. Ini terlalu rumit untuk aku suratkan. Telalu terang untuk aku jabarkan. Serta terlalu sejuk jika aku menceritakannya.

------+++------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun