Berbeda jauh dengan Samahita yang diam-diam licik. Ahh.. Samahita. Aku tidak menampik jika aku terkadang merindukannya. Mengingat kami berdua sejak kecil berteman begitu erat. Namun ketika aku berniat kembali berteman dengannya, hatiku menolak mentah-mentah.
Aku mengingat bagaimana mata-mataku menemukan berbagai bukti bahwa selama ini Samahita yang terhormat di kerajaannya dengan sukarela menjajakkan tubuhnya pada para prajurit bahkan pelayan di kerajaannya. Aku tidak habis pikir telah hampir menikahi sosok liar seperti Samahita.
Helaan napas kembali kukeluarkan. Tiba-tiba aku mendengar suara tawa kecil bak rintikan lembut embun. Aku kembali menatap wanita yang entah sejak kapan ikut tertidur di sampingku.
"Kau terlihat jelek jika tengah berpikir keras terlalu keras, calon prabu."
Aku tertawa bukan hanya karena candaan manisnya. Namun juga karena merasa gemas mendengar suara kikikan tawanya yang bahkan membuat kudaku merasa nyaman mendengarnya.
Aku dan wanita ini bukan sepasang kekasih. Bukan pula suami dan istri. Entah kami itu apa. Bagiku, ia bagaikan ramuan yang menyembuhkan lukaku hingga tak berbekas. Hanya karena mendengar celaan dari mulut tajam dan manisnya, aku dapat tersenyum. Entah perasaan apa yang tengah aku terka. Yang aku rasakan bahkan tidak dapat kutulis dalam berapa kitab atau mungkin jutaan kitab. Ini terlalu rumit untuk aku suratkan. Telalu terang untuk aku jabarkan. Serta terlalu sejuk jika aku menceritakannya.
------+++------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H