Aku mengucapkan dengan tegas bahwa aku ingin memutuskan perjodohanku dengan Samahita dan tidak ingin kembali berhubungan dengannya. Ayahanda mengangguk tegas dan menuruti kemauanku. Sungguh aku hanya ingin seperti ayahanda yang hanya cukup mencintai seorang wanita dalam hidupnya yaitu mendiang ibundaku. Sialnya, aku bertemu wanita sinting yang benar-benar salah.
------
Aku menghela napas sambil mengelus kuda kesayanganku. Kemudian aku duduk di sebelah wanita cantik yang tengah memakan sebuah apel dengan tenang sambil menggambar awan di atas langit dengan jemari tanganya yang lentik.
Aku melepas kain yang menutupi wajahku. Aku tersenyum memandang tingkah lakunya.
"Jangan tersenyum, bodoh. Kau kira aku tidak menyadari?"
Kata-kata yang entah mengapa lebih kusukai daripada pujaan. Aku merebahkan tubuhku di atas rerumputan yang terasa lebat. Aku ikut memandangi awan-awan yang nampak saling berkejaran.
"Sampai kapan kau akan di sini? Aku bertaruh pasti ayahandamu tengah kalang kabut mencari keberadaan putra manjanya."
Aku terkekeh mendengar kalimat mencibir itu.
"Kau kira semua pangeran kerajaan semanja itu?"
"Ya, termasuk engkau yang sangat teramat manja."
Aku hanya tersenyum memandangi seorang wanita cantik di sampingku ini. Cendikiawan cantik. Satu-satunya cendikiawan wanita di negeriku. Satu-satunya pula yang dengan menatapku, ia dapat menyadari bahwa aku adalah seorang Bhadrika Maharajasa Wijaya. Sampai sekarang aku masih merasa takjub betapa ajaib wanita ini.