Mohon tunggu...
ninja berkarya
ninja berkarya Mohon Tunggu... -

Tempat berkumpulnya karya para penulis sastra yang tergabung di dalam komunitas Ninja Berkarya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi - Puisi ninbera Edisi 6 : Rangga umara

28 Januari 2012   07:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:21 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ah… kau masih saja asyik merimba kata menyamak riduku. Tak sadarkah seburat luka selalu kau lukis; Menganga kala puja-puji kau jahit untuknya. Hatimu…, duri dan akar rasaku kau hujam meneracapi bumi. Semipun tiba namun kau hempas aku di sudut biru nan beku.

Lihatlah…, ini tanganku. Bertepuk sebelah lagi. Sekali lagi. Entah, mungkin aku tak sebanding dengan imaji yang kau hampar di separuh malammu. Atau bisa saja, kau memendam sosok lain yang tersimpan di sebalik foto yang kau taruh di bawah bantal tidurmu. Ah! Kini aku kembali menjemput sisa sisa malam sambil sesekali menghujat pagi. Berharap bayangmu memburam. Lalu hilang tanpa ada yang terkenang; Mati!

Kian asing kumaknai diri ini. Luka hati semakin menubir. Bicaraku adalah igauan abjad beku. Tiada laku pun tak berharga di pasar sepi. Selasar jiwa tak lagi berwarna tanpa hadirmu, yang senantiasa menjelma pelangi di tiap petak tanah kerinduan. Kepunahan asmara ini adalah kisah paling lara yang akan abadi, terpelihara di sisa jejak hidupku. Mungkin, esok akan kembali bersua senyum hangat mentari baru. Akan kembali bersitatap dengan sorotan teduh rembulan baru. Tapi, tidakkah ini tetap saja fatamorgana? Karena bintang yang seharusnya menemani tetap saja datang dari langit silam ; dirimu . O, airmata dari mata air lembah kepedihan. Sungkanlah mengalir tuk nyatakan rasa kehilangan ini.

Di ujung pintu waktu dulu, ketika aku mulai mengenal cinta, para Arif mengajariku tentang pahit bencana cinta dan kehilangan. Namun aku berpaling dari mereka. Hingga di ujung pintu waktu kini, Aku seperti burung kecil dari suram lembah jiwa, terbangun di pagi hari, meledak dalam lagu setelah pagi tua, dibumbui pahit anggur cinta. Api mendidih dalam diri seperti dengus sebuah ketel mendidih. Dua matamu tak mengalir bersama air mata: menghujamku dengan anak panah di hatiku yang patah. Aku bersandar seperti pinggiran jejahitan yang lepas dari sutra putih. Air mata mengalir turun di dadaku, mengingat hari bercinta. Namun, apakah terpendar asa dalam keruntuhan ini? Membawakanku pelipur lara? Bukankah penyembuh lara datang mengalir dari air mata? Saat angin pasir menyapu teluk derita, lalu pergi? Hingga pekarangan rumah hati yang tua menjadi sunyi.

150510 : 16.03. Antara Gorontalo, Ngawi, Bandung, Palembang, Malang, Babat, Yogyakarta, Martapura, Padang & Tegal dalam rasa yang sama.

...

Ayat Ganjil Terpahat di Punggung Batu


Ku eja ayat ganjil terpahat di punggung batu
yang merajah enam gunung abadi
ku tadahi tujuh langit retak di sudut
mataku yang hujan
hanya ayat itu deras mengalir di sujudku

srigala hitam berlarian di satusatu bulu mata,
melantun kidungkidung sihir dengan lolong panjang,
mengintai tumbal untuk persembahan
di hari penghitungan

entah jiwa siapa yang mati?

yang lena, maka dia yang tidur
yang tidur, dialah yang mati

dengan nama-Mu, yang ku hitung di tiap ruas jari
tunjukkan aku ke Jalan lurus-Mu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun