Mohon tunggu...
ninja berkarya
ninja berkarya Mohon Tunggu... -

Tempat berkumpulnya karya para penulis sastra yang tergabung di dalam komunitas Ninja Berkarya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi - puisi Ninbera Edisi 4 : Yazid Musyafa

25 Januari 2012   15:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:27 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pagi Dan Catatan Pendek


I. Catatan

Peperangan pertama;

Menolak untuk menari dalam jemari

Di lantai dua puluh empat jam yang licin

II. Agama

Ketika mereka berkata:

"Mencintaimu adalah waktu"

Di belakang sadar, bayang mengata:

"Cinta agama keduaku..."

III. Ibu

Sulit untukku, Ibu...

Membayangkan tubuh puisi

Tanpamu,

Di antara alphabet

Dan tanpa kebebasan...

IV. ketika

Ketika tangan

Ditiup mantra

Menjadi puisi

Dari kayu

.2011

........

Batu

Mungkin hanya sepi

Mungkin hanya membisu

Di antara tarian musim-musim

Di antara celah ruang waktu

Yang mencekik.

.2012

...

Ketiadaan

: Fahrurozi "Nu Arur" Atma

Dan mata tiada menyimpang cahaya

Kemanapun ia menyudut, kawan....

Layaknya gelap hari di luar angkasa

Luka muak dengan udara:

Menatap marah, menyalakan merah

Pun harimau merindu waktu untuk terbaring,

Di hutan...

Kematian Phoenix

: Husni Hamisi

Hei, terlahir di atas awan

Phoenix mengapung di cakrawala, bebas

Menyanyikan seribu nada kerahasiaan nan sendu

Dari paruh seruling yang melengkung,

Merindukan kematian.

Dan hei...,

Diteriakkannya elegi kediriannya

Di atas tumpukan reranting kering air mata

Menggetarkan kokoh gunungku, dangkal

Sungai kesadaran yang hitam:

Untuk rebah dan membakar diri

Menjadi abu

Memercik benih pada kuncup bunga api

Menyentuh kepala belakang malam yang

Berlayar di  bening lautan air mata.

Sedang jemari menjahit fajar berikutnya...

.2011

....

Monolog Bunga

Setangkai bunga telusupkan wangi, mabukkan nafas-nafas kedalaman jiwa pada genggam jemari matahari pagi; mekarkan kuncup-kuncup mimpi. Jiwa kemarau keras menampar, kencang bayu sentakkan hijau dedaun memaksa bunga layu terkapar di antara waktu yang membilang luruh padanya.

Kehilangan mimpi

Bunga

di antara harum

aroma yang terjaga

.2012

...

Pusara

Kakikakinya di dalam tanah. Tangannya memuji burung, menyebut pagi dan membentang sayap dari atas pekuburan, mengepakkan beban kesedihan pada suara angin yang berjalan di gunung, mewahyukan rahasia kematian pada kelapangan dada.

Lalu ia berjalan menjejaki jalanan ilusi, melihat selamanya, mengolok bibir tersenyum usai dunia mengamuk lautan di dada, untuk cinta di bulan. Requiems dinyanyikan paruh kesedihan pada penjuru mata angin, terbutakan gema fajar muda dari mata keraguan dan khayalan malam.

Pusara masih utuh, memikat hati harapannya. Air mata berdiri kaku untuk menyambut kedatangan.

.2011

...

Sebuah Surat Dari Penjara

Ia berkata tiada kertas dan pena

Dari panas kota yang menyengat

Dari kepahitan sakit yang merasa

Dari kelelahan yang tak tertidur

Bagaimana bercerita dengan puisi?

Mengunjungi sel sendiri yang berdiri

Di antara hitam lubang jeruji

Bertanya tentang pengunjung, mencari

Berita yang berpusing di tengah hari

Menarikan cerita dunia dan yang dicintai:

Hanya terjadi

Lalu sekali

Tak lagi;

Diri!

..2011

...

Madah Perjalanan I


I. Gerbang Air Mata

Dicintai, belakang batas

Menantikan kesedihan dan kita di sini.

Lengan mereka terbuka, menembus nyeri hati

Mengetuk: pecah suara dalam nada-nada tuli

Pedagang di mata, bergoyang di bibir mereka

Pertanyaan tentang leluhur terperosok dalam sesal

II. Masih

Darah leluhur masih menetes dengan diriku

Di antara rintihan kendi, dan masih angin berlari

Aku merindu matahari dalam cerita perjalanan;

Dalam bilik temaram, dan hey..., luka masih bernyanyi!

Dicintai, belakang batas

Bagaimana terik rumah-rumah kami

Menunggu ranum biji-biji harapan menyemai

Gersang wajah bumi kami

Apakah kau tahu kami akan kembali?

Akankah kita kembali? Haruskah kita kembali?

III. Orang Asing

Membawa luka berdarah untuk cakrawala

Yang lalu berlari di belakang, meninggalkan

Persimpangan jalan bernama tahun

Pergi untuk kembali pada esok

Pagi ia berbelok ke langit

Di antara lemah lalu asing

Ia menangis dan berdoa

Bermain dan bernyanyi di sisi lain,

Berbesar hati untuk hari langit

Kemana, orang asing?

Berapa lama akan tetap hilang

Dan mendekap keasingan?

Menangis sekaligus menyanyi di sisi lain?

IV. Untuk

Untuk

Untuk pagi

Hari dan malam;

Pedang air mata untuk membelah waktu,

Untuk memegang batu di musim gugur penuh duri

Aku lupa apa yang telah hidup di musim semi

Aku lupa, lupa, lupa, lupa dan lupa

Untuk langkah-langkah tiada kembali!

.2011

...

Beberapa Nyanyian


I. Nyanyian Untuk Waktu

Ini adalah waktu, blokade untuk buta

Akan darah yang menjalar di antara jalanan

Mengisi keheningan rumah-rumah tua hitam,

Menguap cerita di dalam jasad kosong.

Maka kukatakan kepada wajah selatan;

"Aku pergi...

Aku pergi karena mengikutimu, pergi.

Aku akan pergi sebagai aku,

Menuju kesalahanku sebagai aku.

Peluru pergi dan menari menantiku, mungkin..."

II. Nyanyian Untuk Jarak

Gelombang merengkuh tangan pantai

Pada barisan huruf yang bernyanyi;

"Halo, aku, jarak...

Memutus benang antara kau, aku:

Duka yang hangat,

Di antara mengalirnya jejak dalam kata"

III. Nyanyian Untuk Pengakuan

Mengakui

Untuk selatan,

Selatan matahari, api

Penuh tersirat

Namun cerita suara yang mengata

Aku tiada dekat untuk dekat.

Membungkukku pada perawakan kematian.

Kukatakan almanak menawarkan obat, lalu topeng!

.2011

...

Ode Untuk Perjalanan


I. Jalan

Besok,

Dan alam semesta menjelma hymne

Meleleh, - di wajahku dan kasih yang mencair;

Lahir makna di mata dhuha'

Dimulai diriku sendiri menjejak anak jalan...

II. Langit Lain

Mimpi dilemparkan di matanya

Menatap jauh cerita kota ke kota,

Mimpi menari di antara perjalanan

Menemui hari-harinya meraba pegangan,

Mimpi untuk berdiri di reruntuhan diri

Memburu rahasia langit pertama di langit akhir.

III. Bertanya

Bertanya aku mengapa menulis?

Tanyakan mengapa aku menulis untuk ini?

Jika merpati terbang meradang, sembunyi

Sembari sesekali mengintip biru langit

Di antara panjang tangga dan tebalnya dinding

Bertanya aku mengapa bernyanyi?

Tanyakan mengapa aku menyanyi untuk ini?

Bagaimana nada merambati sendi hati

Menggetarkan samar garpu-garpu tala

Untuk lalu menyebut sebuah nama

........

Jendela, mereka

Terbuka horizon pelangi

Sukacita,

Menunggui,

Seperti aku menunggunya

Dan jam tangan menanti detik...

.2011

....


Yazid Musyafa, seorang pengelana yang menetap di Tegal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun