Pagi Dan Catatan Pendek
I. Catatan
Peperangan pertama;
Menolak untuk menari dalam jemari
Di lantai dua puluh empat jam yang licin
II. Agama
Ketika mereka berkata:
"Mencintaimu adalah waktu"
Di belakang sadar, bayang mengata:
"Cinta agama keduaku..."
III. Ibu
Sulit untukku, Ibu...
Membayangkan tubuh puisi
Tanpamu,
Di antara alphabet
Dan tanpa kebebasan...
IV. ketika
Ketika tangan
Ditiup mantra
Menjadi puisi
Dari kayu
.2011
........
Batu
Mungkin hanya sepi
Mungkin hanya membisu
Di antara tarian musim-musim
Di antara celah ruang waktu
Yang mencekik.
.2012
...
Ketiadaan
: Fahrurozi "Nu Arur" Atma
Dan mata tiada menyimpang cahaya
Kemanapun ia menyudut, kawan....
Layaknya gelap hari di luar angkasa
Luka muak dengan udara:
Menatap marah, menyalakan merah
Pun harimau merindu waktu untuk terbaring,
Di hutan...
Kematian Phoenix
: Husni Hamisi
Hei, terlahir di atas awan
Phoenix mengapung di cakrawala, bebas
Menyanyikan seribu nada kerahasiaan nan sendu
Dari paruh seruling yang melengkung,
Merindukan kematian.
Dan hei...,
Diteriakkannya elegi kediriannya
Di atas tumpukan reranting kering air mata
Menggetarkan kokoh gunungku, dangkal
Sungai kesadaran yang hitam:
Untuk rebah dan membakar diri
Menjadi abu
Memercik benih pada kuncup bunga api
Menyentuh kepala belakang malam yang
Berlayar di  bening lautan air mata.
Sedang jemari menjahit fajar berikutnya...
.2011
....
Monolog Bunga
Setangkai bunga telusupkan wangi, mabukkan nafas-nafas kedalaman jiwa pada genggam jemari matahari pagi; mekarkan kuncup-kuncup mimpi. Jiwa kemarau keras menampar, kencang bayu sentakkan hijau dedaun memaksa bunga layu terkapar di antara waktu yang membilang luruh padanya.
Kehilangan mimpi
Bunga
di antara harum
aroma yang terjaga
.2012
...
Pusara
Kakikakinya di dalam tanah. Tangannya memuji burung, menyebut pagi dan membentang sayap dari atas pekuburan, mengepakkan beban kesedihan pada suara angin yang berjalan di gunung, mewahyukan rahasia kematian pada kelapangan dada.
Lalu ia berjalan menjejaki jalanan ilusi, melihat selamanya, mengolok bibir tersenyum usai dunia mengamuk lautan di dada, untuk cinta di bulan. Requiems dinyanyikan paruh kesedihan pada penjuru mata angin, terbutakan gema fajar muda dari mata keraguan dan khayalan malam.
Pusara masih utuh, memikat hati harapannya. Air mata berdiri kaku untuk menyambut kedatangan.
.2011
...
Sebuah Surat Dari Penjara
Ia berkata tiada kertas dan pena
Dari panas kota yang menyengat
Dari kepahitan sakit yang merasa
Dari kelelahan yang tak tertidur
Bagaimana bercerita dengan puisi?
Mengunjungi sel sendiri yang berdiri
Di antara hitam lubang jeruji
Bertanya tentang pengunjung, mencari
Berita yang berpusing di tengah hari
Menarikan cerita dunia dan yang dicintai:
Hanya terjadi
Lalu sekali
Tak lagi;
Diri!
..2011
...
Madah Perjalanan I
I. Gerbang Air Mata
Dicintai, belakang batas
Menantikan kesedihan dan kita di sini.
Lengan mereka terbuka, menembus nyeri hati
Mengetuk: pecah suara dalam nada-nada tuli
Pedagang di mata, bergoyang di bibir mereka
Pertanyaan tentang leluhur terperosok dalam sesal
II. Masih
Darah leluhur masih menetes dengan diriku
Di antara rintihan kendi, dan masih angin berlari
Aku merindu matahari dalam cerita perjalanan;
Dalam bilik temaram, dan hey..., luka masih bernyanyi!
Dicintai, belakang batas
Bagaimana terik rumah-rumah kami
Menunggu ranum biji-biji harapan menyemai
Gersang wajah bumi kami
Apakah kau tahu kami akan kembali?
Akankah kita kembali? Haruskah kita kembali?
III. Orang Asing
Membawa luka berdarah untuk cakrawala
Yang lalu berlari di belakang, meninggalkan
Persimpangan jalan bernama tahun
Pergi untuk kembali pada esok
Pagi ia berbelok ke langit
Di antara lemah lalu asing
Ia menangis dan berdoa
Bermain dan bernyanyi di sisi lain,
Berbesar hati untuk hari langit
Kemana, orang asing?
Berapa lama akan tetap hilang
Dan mendekap keasingan?
Menangis sekaligus menyanyi di sisi lain?
IV. Untuk
Untuk
Untuk pagi
Hari dan malam;
Pedang air mata untuk membelah waktu,
Untuk memegang batu di musim gugur penuh duri
Aku lupa apa yang telah hidup di musim semi
Aku lupa, lupa, lupa, lupa dan lupa
Untuk langkah-langkah tiada kembali!
.2011
...
Beberapa Nyanyian
I. Nyanyian Untuk Waktu
Ini adalah waktu, blokade untuk buta
Akan darah yang menjalar di antara jalanan
Mengisi keheningan rumah-rumah tua hitam,
Menguap cerita di dalam jasad kosong.
Maka kukatakan kepada wajah selatan;
"Aku pergi...
Aku pergi karena mengikutimu, pergi.
Aku akan pergi sebagai aku,
Menuju kesalahanku sebagai aku.
Peluru pergi dan menari menantiku, mungkin..."
II. Nyanyian Untuk Jarak
Gelombang merengkuh tangan pantai
Pada barisan huruf yang bernyanyi;
"Halo, aku, jarak...
Memutus benang antara kau, aku:
Duka yang hangat,
Di antara mengalirnya jejak dalam kata"
III. Nyanyian Untuk Pengakuan
Mengakui
Untuk selatan,
Selatan matahari, api
Penuh tersirat
Namun cerita suara yang mengata
Aku tiada dekat untuk dekat.
Membungkukku pada perawakan kematian.
Kukatakan almanak menawarkan obat, lalu topeng!
.2011
...
Ode Untuk Perjalanan
I. Jalan
Besok,
Dan alam semesta menjelma hymne
Meleleh, - di wajahku dan kasih yang mencair;
Lahir makna di mata dhuha'
Dimulai diriku sendiri menjejak anak jalan...
II. Langit Lain
Mimpi dilemparkan di matanya
Menatap jauh cerita kota ke kota,
Mimpi menari di antara perjalanan
Menemui hari-harinya meraba pegangan,
Mimpi untuk berdiri di reruntuhan diri
Memburu rahasia langit pertama di langit akhir.
III. Bertanya
Bertanya aku mengapa menulis?
Tanyakan mengapa aku menulis untuk ini?
Jika merpati terbang meradang, sembunyi
Sembari sesekali mengintip biru langit
Di antara panjang tangga dan tebalnya dinding
Bertanya aku mengapa bernyanyi?
Tanyakan mengapa aku menyanyi untuk ini?
Bagaimana nada merambati sendi hati
Menggetarkan samar garpu-garpu tala
Untuk lalu menyebut sebuah nama
........
Jendela, mereka
Terbuka horizon pelangi
Sukacita,
Menunggui,
Seperti aku menunggunya
Dan jam tangan menanti detik...
.2011
....
Yazid Musyafa, seorang pengelana yang menetap di Tegal
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI