Suara petir menyambar keras seolah suaranya berada di ujung kepala Aisyah. Sejak semalam hujan mengguyur bumi tak berhenti, menghadirkan udara dingin yang menggigit kulit. Jarum jam menunjukkan angka dua. Aisyah bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan salat malam. Kebiasaan yang selalu dilakukannya bersama Ambu sejak SMP.
Sudah dua bulan kepergian Ambu, Aisyah tetap merasa jika ibunya tetap hadir bersama dengannya. Setiap sudut rumah seakan menyimpan jejak keberadaan Ambu. Wangi minyak kayu putih yang biasa Ambu gunakan masih samar tercium di kamar. Suara langkah pelan Ambu saat menuju dapur seperti menggema kembali di tengah malam. Bahkan, suara halusnya yang mengingatkan Aisyah untuk selalu menjaga salat, masih terdengar jelas di telinga.
Namun, semua itu hanya kenangan. Realitanya, Ambu telah tiada, dan rumah ini terasa jauh lebih sepi, lebih kosong tanpa canda tawa ibunya. Setiap kali Aisyah menyentuh kain selimut Ambu yang masih terlipat rapi di kamar, ada perasaan pedih yang menggigit hati. Seakan semua benda itu menjadi saksi bisu atas kasih sayang yang tak pernah surut, hingga detik-detik terakhir Ambu.
"Ambu... kenapa Kang Dana harus seperti ini?" gumam Aisyah seraya memeluk tasbih di tangannya erat-erat. "Bukankah keluarga seharusnya saling menjaga, bukan saling menghancurkan?"
Hamid, yang duduk di sudut ruangan, menatap Aisyah dengan pandangan sayu. Meski ia tidak mengucapkan sepatah kata, ia tahu luka yang dirasakan adiknya sama dengan apa yang dirasakannya. Hati mereka tercabik, bukan hanya oleh kepergian Ambu, tetapi oleh jurang yang kian lebar antara mereka dan Kang Dana.
Di tengah kesedihan itu, Aisyah berusaha menguatkan diri. Ia percaya, di balik setiap musibah pasti ada hikmah yang Allah titipkan. Tetapi, ketika ia menatap hamparan sertifikat tanah yang kini tersimpan di tangannya, Aisyah tahu, jalan menuju perdamaian dalam keluarga mereka masih panjang dan penuh liku.
Peristiwa yang terjadi dua minggu sebelum kepergian Ambu, berkelebat dalam memorinya, menyisakan lara yang tak bertepi untuk Aisyah dan Hamid.
"Aku ingin sertifikat tanah bapak yang satu hektar itu, Bu. Bapak sudah mewariskannya kepadaku," ujar Kang Dana seraya menatap ibu tajam.
"Anak bapak bukan hanya kamu . Ada Hamid dan Aisyah adikmu. Mereka juga harus dipikirkan . Lagi pula apakah ada bukti tertulis, almarhum bapak mewariskan semua  tanah itu padamu?" Ibu memandang lembut putra sulungnya.
"Ibu bilang Hamid dan Aisyah berhak atas warisan bapak? Mereka hanya anak angkat, Bu!" teriak Kang Dana tinggi.