"Adinda tidak punya orang tua, Dis. Dia tinggal di panti asuhan sejak bayi," papar Bu Santi pelan. Penjelasan Bu Santi membuat Gendis terkejut. Dia memang belum banyak mengenal teman-temannya karena baru tiga hari dia ada di sekolah ini.
Gendis merasa dadanya seperti diremas mendengar penjelasan Bu Santi. Kini ia mengerti mengapa Adinda menjadi sasaran empuk ejekan Andi dan kawan-kawannya. Tanpa sadar, jemarinya menggenggam erat tangan Adinda yang lemah. Ada tekad yang mulai membara dalam dirinya: ia akan menjadi pelindung bagi Adinda, apa pun risikonya.
Di tengah keheningan itu, sebuah ketukan pintu pelan terdengar. Gendis menoleh, dan sosok Alika, salah satu anggota kelompok Andi, muncul di ambang pintu dengan wajah yang tampak gelisah.
"Gendis... boleh bicara sebentar?" bisiknya.
Gendis mengangguk meski hatinya penuh kecurigaan. Mereka melangkah keluar ruang UKS.
"Aku mau minta maaf," ucap Alika tiba-tiba, menunduk. "Aku salah ikut-ikutan Andi. Aku nggak bermaksud nyakitin Adinda, tapi... aku takut sama Andi."
Gendis mengamati Alika dengan tatapan tajam. "Kalau kamu sadar salah, kenapa nggak kamu hentikan dia tadi?"
"Aku nggak tahu harus gimana..." Alika terdengar putus asa. "Andi itu sering memaksa kami semua. Kalau ada yang melawan, dia nggak segan-segan ngebully balik."
"Kalau kamu tahu itu salah, kamu harus berani melawan. Sama seperti aku tadi," kata Gendis tegas. "Adinda nggak punya siapa-siapa. Kalau kita diam, dia terus jadi korban."
Alika menggigit bibirnya, tampak menimbang-nimbang sesuatu. "Ada sesuatu yang kamu harus tahu..."
Mata Gendis menyipit. "Apa?"