"Andi, Gendis, cukup!" Suasana di kelas mendadak sunyi, hanya terdengar nafas keduanya yang masih memburu. Suara guru mereka memotong ketegangan yang tidak dapat dihentikan di ruangan itu.
"Kamu tidak apa-apa, Din?" tanya Gendis mendekati Adinda seraya memeluknya yang masih terlihat shock dan gemetar.
"Ada apa ini? Kalian berkelahi?" Pak Ardian bertanya dengan tegas kepada Andi dan Gendis.
"Andi dan teman-temannya melakukan perundungan, Pak. Lihat Adinda menangis serta shock dan gemetar," papar Gendis sambil terus memeluk Adinda yang masih menangis.
Pak Ardian memandang Andi dan teman-temannya.
"Gendis yang menendang perutku duluan, Pak." Andi membela diri sambil memegang perutnya. Pak Ardian memalingkan mukanya ke arah Gendis.
"Betul, Pak. Itu pun Andi yang duluan mencengkram tangan saya saat akan melerai dan membantu Adinda. Jika Bapak tidak percaya, tanyakan kepada teman-teman." Gendis memandang tajam ke arah Andi dan gerombolannya.
"Yah, sudah kalian ikut Bapak ke kantor!" perintah Pak Ardian kepada Andi dan kawan-kawannya," Gendis, tolong bawa Adinda ke ruang UKS ya."
Kemudian semua anak kembali ke kursi masing-masing. Mereka melanjutkan pelajaran sementara Gendis mengantarkan Adinda ke UKS.
Gendis membelai rambut Adinda yang terbaring di kasur UKS. Dia sudah memberikan minum untuk temannya itu agar tenang. Kemudian Bu Santi memeriksa keadaan Adinda yang terlihat pucat.
"Kita harus menelpon orang tua Adinda, Bu," ujar Gendis mencemaskan keadaan gadis itu.