Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Anak | Jarik Lurik Mbah Surip

10 November 2024   01:35 Diperbarui: 10 November 2024   09:57 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber https://id.pinterest.com/dailysia/

Hai, namaku Gendis. Aku berusia dua belas tahun. Aku berasal dari keluarga yang menekuni tarian tradisional, khususnya Tari Topeng. Namun, aku menolak untuk menekuni tari tradisional itu. Aku lebih suka dengan tarian K-Pop. Bagiku tari tradisional membosankan dibandingkan dengan K-Pop yang energik.

Matahari sore menyusup malu-malu di sela pepohonan rindang di pendopo rumahku. Di sana, Mbah Surip, atau biasa dipanggil Mbah Uti---nenekku yang selalu penuh semangat meski usia senja---bersama beberapa remaja sedang berlatih menari.  

Beberapa remaja mengikuti gerakan-gerakan yang dilakukan Mbah Uti. Bu Lik dan Mbak Nadia membantu untuk membimbing mereka. Setiap gerakan yang salah, mereka memperbaikinya dengan sabar.

Aku hanya menonton dari kejauhan, duduk di bangku kayu tua dengan wajah masam. Bagiku tarian tradisional yang kerap dilihat sangat membosankan. Sejak kecil aku selalu melihat si Mbah, ibu, dan bu lik berlatih atau melatih beberapa remaja di sanggar "Nyi Mas Gandasari"---sanggar yang sengaja didirikan keluargaku. Aku juga sering ikut berlatih bersama anak-anak sanggar.

Mbah Surip memang seorang maestro Tari Topeng Cirebon. Kepiawaiannya menari, membuat Si Mbah sering diundang oleh para pejabat untuk mengenalkan tarian ciri khas kota Cirebon itu. Bahkan, Mbah pernah diundang untuk menari di Istana Merdeka saat beliau masih muda. Foto Mbah Surip Bersama Presiden Soeharto dan Ibu Negara Tien Soeharto terpampang di dinding sanggar.

"Nduk, mari ikut latihan sama yang lain. Nanti malam, Mbah ajarin kunci-kunci gerakan tari Topeng Kelana yang istimewa itu!" seru Mbah Surip dengan mata berbinar-binar.

Aku menghela napas panjang, menatap layar ponsel yang menampilkan video grup K-pop favoritku. Dengan tangan yang menggenggam erat, aku beranjak dari bangku, menghampiri Mbah Uti dengan enggan. Aku bosan menari tradisional. Aku sudah menguasai beberapa tari daerah Jawa, termasuk tari Topeng. Kini aku sudah tidak mau memperdalamnya lagi.

"Sudah Mbah, aku nggak suka tari tradisional. Tari topeng itu... kuno. Aku lebih suka dance yang modern, yang keren. Mbah, tari K-pop itu lebih menarik!" ucapku tegas.

Baca juga: [Puisi] Cermin

Mbah Surip terdiam sejenak, senyum yang tadi menghiasi wajahnya perlahan memudar. "Gendis, tari tradisional ini warisan kita, sayang. Lewat tari topeng, kita belajar tentang kesabaran, menghormati leluhur, dan memahami nilai-nilai kebijaksanaan yang dititipkan di tiap gerakan," ujarnya lembut.

"Tapi K-pop lebih energik dan asyik, Mbah! Lihat saja, banyak orang lebih tertarik dengan dance mereka daripada tari tradisional. Tari topeng itu hanya dipakai di acara resmi dan jarang ditonton banyak orang!" protesku sambil melipat tangan di dada.

Mbah Surip menatapku dengan tatapan penuh pengertian, "Kamu mungkin belum tahu, tapi Mbah ini pernah diundang menari di istana negara beberapa kali. Tarian topeng ini bukan sekadar gerakan. Di dalam setiap gerakannya, ada cerita dan filosofi. Dulu, Mbah pun sepertimu, merasa tari topeng ini susah dan kaku. Tapi semakin lama, Mbah menemukan keindahannya."

"Apa itu penting, Mbah? Kenapa aku harus tahu tentang itu?" tanya aku ketus. Aku merasa percuma mendengar penjelasan Mbah Uti yang menurutku selalu mengulang-ulang hal yang sama.

"Mbah hanya ingin, ada yang meneruskan tradisi ini. Kalau bukan cucu-cucu Mbah, siapa lagi? Kamu adalah harapan Mbah."   Mbah Surip berucap, terdengar sedikit pilu, dan membuat suasana berubah hening.

"Maaf, Mbah. Aku nggak mau belajar tari topeng. Aku lebih senang kalau bisa jadi dancer K-pop. Mbah harus bisa mengerti, zaman sekarang sudah berubah. Lagi pula kenapa harus susah-susah belajar gerakan yang rumit dan memakai topeng segala?" tanyaku tetap tak tergerak.

Mbah Surip mengangguk pelan, mencoba memahami. Namun, sorot matanya menyiratkan kekecewaan. "Kalau begitu, terserah kamu, Gendis. Tapi Mbah akan tetap menari sampai akhir hayat Mbah, siapa tahu kelak kamu berubah pikiran."

Lembayung menghiasi cakrawala, mengantarkan mentari kembali ke peraduannya. Suara azan mulai terdengar dari masjid ujung Darussalam.

Selesai salat maghrib, aku melihat Mbah Surip duduk sendirian di beranda, menatap bulan yang menggantung di langit. Perlahan, aku mendekat, duduk di samping Mbah Uti tanpa mengucapkan sepatah kata.

"Nduk,  Delengen jarik lurik sing dicekel iki nduweni sejarah sing ora bisa dilalekake," ujar Mbah Surip sambil menoleh padaku.

Aku hanya terdiam dan menunggu cerita Mbah. Sebenarnya aku sangat sayang dan mengagumi Mbah Surip sejak kecil. Namun, nasihat Mbah agar lebih baik menekuni tari daerah sebagai akar budaya Indonesia, membuatku sedikit kesal. Aku kecewa padanya. Aku ingin menekuni K-Pop karena ini adalah hal baru untukku.

"Jarik lurik niki peparingipun Kanjeng Sultan, Nduk. Sebagai hadiah karena Mbah menjadi penari termuda saat itu. Sekarang Mbah wariskan padamu. Pakailah jika suatu saat kamu akan menari Tari Topeng Kembali," ujar Mbah Uti seraya membelai rambutku.

Mbah Surip tersenyum, kali ini dengan wajah penuh harapan. Kemudian beliau masuk ke bilik kamarnya. Aku memandangi kain jarik yang diberikan Mbah Uti untukku. Ada perasaan aneh saat aku memegang kain jarik itu.

Malam itu aku melihat Mbah Uti sedang menari Topeng Kelana. Setiap gerakan tubuh Mbah berubah-ubah sesuai karakter tari topeng yang dikenakannya. Sosok itu bergerak anggun namun penuh tenaga. Wajah Si Mbah tersembunyi di balik topeng Kelana, menampilkan ekspresi garang dan penuh wibawa. 

Tubuhnya berputar seirama dengan tabuhan gamelan yang menggema, bahunya yang tegap sesekali melengkung, memperlihatkan ketangkasan dan kekuatan yang tertanam dalam setiap lekuk tariannya.

Mbah sangat piawai  melakukan gerakan tari dengan sempurna. Lengan-lengannya membentuk garis tegas, sementara kakinya menghentak lantai dengan ritme yang menggugah, memancarkan aura megah yang membuat para penonton terpaku. Setiap hentakan, setiap gerak lirikan, mencerminkan jiwa seorang prajurit dan penguasa, membawa penonton larut dalam kisah heroik yang terbalut keindahan budaya.

"Topeng adalah simbol, Nak. Setiap topeng punya cerita, punya karakter. Tari topeng mengajarkan kita untuk mengendalikan diri dan emosi. Ketika Mbah menari dengan topeng Kelana, Mbah bukan lagi Mbah Surip, tapi seorang raja yang penuh wibawa. Itu melatih kita untuk memahami orang lain, mengesampingkan ego, dan merasakan peran yang kita bawakan," papar Mbah seusai menari.

Kata-kata Mbah Surip mulai membuatku berpikir. Ia teringat ketika ia menari mengikuti gerakan K-pop, meniru setiap langkah dengan cepat dan energik. Namun, menari tari topeng tampaknya berbeda. Bukan hanya sekadar meniru gerakan, tetapi menghayati setiap gerakan dan makna di baliknya. 

Aku mulai memahami bahwa tari topeng bukan sekadar gerakan fisik, tapi suatu proses untuk mengenal diri dan menghargai akar budaya. Meskipun aku  masih gemar menonton dan menari K-pop, aku juga mulai memahami keindahan tari topeng yang sempat aku anggap kuno.

Lalu Mbah Surip memberikan topeng Kelana padaku. "Pakailah ini, Nduk. Kelak kamu akan menari sebagai Kelana."

Aku menatap topeng itu dengan perasaan berdebar. Aku mengenakan topeng tersebut, merasakan beratnya, merasakan karakter Kelana yang harus disampaikan. Ketika aku mulai menari, tubuhku terasa seakan menyatu dengan irama gamelan yang mengiringi. Mbah Surip menatapku dengan mata berkaca-kaca.

Selesai menari, Aku melepas topeng itu dan berlari memeluk nenekku. "Mbah, Aku baru mengerti sekarang. Tari topeng ini seperti cermin bagi diri kita sendiri."

Mbah Surip tersenyum, air mata kebahagiaan menetes di pipinya. "Akhirnya kamu merasakannya. Mbah harap, kamu akan terus menjaga dan melestarikan ini, sekalipun kamu menyukai tari modern."

"Gendis, bangun, Nak!" teriakan Ibu membangunkan aku yang terlelap. Aku melihat jam masih menunjukkan angka tiga. Aku mencari Mbah Uti yang tadi ngobrol denganku.

"Ada apa, Bu?" tanyaku sambil membuka pintu. Aku melihat mata ibu sembab.

"Mbahmu pun seda, Nduk," jawab ibu sambil memelukku erat. Nyawaku belum terkumpul sehingga tak paham yang ibu katakan.

"Ada apa, Bu?" Aku mengulang pertanyaan. Ibu melepaskan pelukannya seraya menatapku.

"Mbah Uti sudah meninggal." Ibu menjawab sambil terus menangis.

Aku terpaku mendengar penjelasan ibu, Semalam Mbah Uti baru saja bercakap=cakap denganku. Apakah ini firasat yang aku rasakan semalam saat memeluk jarik pemberian Mbah Uti.

Aku berjanji sekalipun menyukai dance modern, akan tetap menjaga tradisi tari topeng yang telah diwariskan padaku. Karena kini aku mengerti, bahwa tari topeng bukan sekadar menari, tetapi mengenali sejarah, budaya, dan jati diri yang sesungguhnya.

Catatan

  • Nduk: panggilan untuk anak perempuan di Jawa.
  • Delengen jarik sing dicekel iki nduweni sejarah sing ora bisa dilalekake: lihatlah kain yang dipegang ini memiliki sejarah.
  • Jarik niki peparingipun Kanjeng Sultan, Nduk: Kain ini diberi dari Kanjeng Sultan.
  • Mbahmu pun seda, Nduk : Nenekmu sudah meninggal
  • Bu lik: tante

Bionarasi

Penulis bernama Nina Sulistiati, seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu SMP N di Cibadak Kabupaten Sukabumi. Beberapa buku karya solo yang pernah ditulis: Asa di Balik Duka Wanodya(Kumpulan Cerpen), Serpihan Atma(Novel), Kulangitkan Asa dan Rasa (Kumpulan Puisi) dan 25 antologi dengan berbagai komunitas. Fb: Nina Sulistiati, IG:NListiati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun