Hai, namaku Gendis. Aku berusia dua belas tahun. Aku berasal dari keluarga yang menekuni tarian tradisional, khususnya Tari Topeng. Namun, aku menolak untuk menekuni tari tradisional itu. Aku lebih suka dengan tarian K-Pop. Bagiku tari tradisional membosankan dibandingkan dengan K-Pop yang energik.
Matahari sore menyusup malu-malu di sela pepohonan rindang di pendopo rumahku. Di sana, Mbah Surip, atau biasa dipanggil Mbah Uti---nenekku yang selalu penuh semangat meski usia senja---bersama beberapa remaja sedang berlatih menari. Â
Beberapa remaja mengikuti gerakan-gerakan yang dilakukan Mbah Uti. Bu Lik dan Mbak Nadia membantu untuk membimbing mereka. Setiap gerakan yang salah, mereka memperbaikinya dengan sabar.
Aku hanya menonton dari kejauhan, duduk di bangku kayu tua dengan wajah masam. Bagiku tarian tradisional yang kerap dilihat sangat membosankan. Sejak kecil aku selalu melihat si Mbah, ibu, dan bu lik berlatih atau melatih beberapa remaja di sanggar "Nyi Mas Gandasari"---sanggar yang sengaja didirikan keluargaku. Aku juga sering ikut berlatih bersama anak-anak sanggar.
Mbah Surip memang seorang maestro Tari Topeng Cirebon. Kepiawaiannya menari, membuat Si Mbah sering diundang oleh para pejabat untuk mengenalkan tarian ciri khas kota Cirebon itu. Bahkan, Mbah pernah diundang untuk menari di Istana Merdeka saat beliau masih muda. Foto Mbah Surip Bersama Presiden Soeharto dan Ibu Negara Tien Soeharto terpampang di dinding sanggar.
"Nduk, mari ikut latihan sama yang lain. Nanti malam, Mbah ajarin kunci-kunci gerakan tari Topeng Kelana yang istimewa itu!" seru Mbah Surip dengan mata berbinar-binar.
Aku menghela napas panjang, menatap layar ponsel yang menampilkan video grup K-pop favoritku. Dengan tangan yang menggenggam erat, aku beranjak dari bangku, menghampiri Mbah Uti dengan enggan. Aku bosan menari tradisional. Aku sudah menguasai beberapa tari daerah Jawa, termasuk tari Topeng. Kini aku sudah tidak mau memperdalamnya lagi.
"Sudah Mbah, aku nggak suka tari tradisional. Tari topeng itu... kuno. Aku lebih suka dance yang modern, yang keren. Mbah, tari K-pop itu lebih menarik!" ucapku tegas.
Mbah Surip terdiam sejenak, senyum yang tadi menghiasi wajahnya perlahan memudar. "Gendis, tari tradisional ini warisan kita, sayang. Lewat tari topeng, kita belajar tentang kesabaran, menghormati leluhur, dan memahami nilai-nilai kebijaksanaan yang dititipkan di tiap gerakan," ujarnya lembut.
"Tapi K-pop lebih energik dan asyik, Mbah! Lihat saja, banyak orang lebih tertarik dengan dance mereka daripada tari tradisional. Tari topeng itu hanya dipakai di acara resmi dan jarang ditonton banyak orang!" protesku sambil melipat tangan di dada.