Malam itu aku melihat Mbah Uti sedang menari Topeng Kelana. Setiap gerakan tubuh Mbah berubah-ubah sesuai karakter tari topeng yang dikenakannya. Sosok itu bergerak anggun namun penuh tenaga. Wajah Si Mbah tersembunyi di balik topeng Kelana, menampilkan ekspresi garang dan penuh wibawa.Â
Tubuhnya berputar seirama dengan tabuhan gamelan yang menggema, bahunya yang tegap sesekali melengkung, memperlihatkan ketangkasan dan kekuatan yang tertanam dalam setiap lekuk tariannya.
Mbah sangat piawai  melakukan gerakan tari dengan sempurna. Lengan-lengannya membentuk garis tegas, sementara kakinya menghentak lantai dengan ritme yang menggugah, memancarkan aura megah yang membuat para penonton terpaku. Setiap hentakan, setiap gerak lirikan, mencerminkan jiwa seorang prajurit dan penguasa, membawa penonton larut dalam kisah heroik yang terbalut keindahan budaya.
"Topeng adalah simbol, Nak. Setiap topeng punya cerita, punya karakter. Tari topeng mengajarkan kita untuk mengendalikan diri dan emosi. Ketika Mbah menari dengan topeng Kelana, Mbah bukan lagi Mbah Surip, tapi seorang raja yang penuh wibawa. Itu melatih kita untuk memahami orang lain, mengesampingkan ego, dan merasakan peran yang kita bawakan," papar Mbah seusai menari.
Kata-kata Mbah Surip mulai membuatku berpikir. Ia teringat ketika ia menari mengikuti gerakan K-pop, meniru setiap langkah dengan cepat dan energik. Namun, menari tari topeng tampaknya berbeda. Bukan hanya sekadar meniru gerakan, tetapi menghayati setiap gerakan dan makna di baliknya.Â
Aku mulai memahami bahwa tari topeng bukan sekadar gerakan fisik, tapi suatu proses untuk mengenal diri dan menghargai akar budaya. Meskipun aku  masih gemar menonton dan menari K-pop, aku juga mulai memahami keindahan tari topeng yang sempat aku anggap kuno.
Lalu Mbah Surip memberikan topeng Kelana padaku. "Pakailah ini, Nduk. Kelak kamu akan menari sebagai Kelana."
Aku menatap topeng itu dengan perasaan berdebar. Aku mengenakan topeng tersebut, merasakan beratnya, merasakan karakter Kelana yang harus disampaikan. Ketika aku mulai menari, tubuhku terasa seakan menyatu dengan irama gamelan yang mengiringi. Mbah Surip menatapku dengan mata berkaca-kaca.
Selesai menari, Aku melepas topeng itu dan berlari memeluk nenekku. "Mbah, Aku baru mengerti sekarang. Tari topeng ini seperti cermin bagi diri kita sendiri."
Mbah Surip tersenyum, air mata kebahagiaan menetes di pipinya. "Akhirnya kamu merasakannya. Mbah harap, kamu akan terus menjaga dan melestarikan ini, sekalipun kamu menyukai tari modern."
"Gendis, bangun, Nak!" teriakan Ibu membangunkan aku yang terlelap. Aku melihat jam masih menunjukkan angka tiga. Aku mencari Mbah Uti yang tadi ngobrol denganku.
"Ada apa, Bu?" tanyaku sambil membuka pintu. Aku melihat mata ibu sembab.