Mbah Surip menatapku dengan tatapan penuh pengertian, "Kamu mungkin belum tahu, tapi Mbah ini pernah diundang menari di istana negara beberapa kali. Tarian topeng ini bukan sekadar gerakan. Di dalam setiap gerakannya, ada cerita dan filosofi. Dulu, Mbah pun sepertimu, merasa tari topeng ini susah dan kaku. Tapi semakin lama, Mbah menemukan keindahannya."
"Apa itu penting, Mbah? Kenapa aku harus tahu tentang itu?" tanya aku ketus. Aku merasa percuma mendengar penjelasan Mbah Uti yang menurutku selalu mengulang-ulang hal yang sama.
"Mbah hanya ingin, ada yang meneruskan tradisi ini. Kalau bukan cucu-cucu Mbah, siapa lagi? Kamu adalah harapan Mbah." Â Mbah Surip berucap, terdengar sedikit pilu, dan membuat suasana berubah hening.
"Maaf, Mbah. Aku nggak mau belajar tari topeng. Aku lebih senang kalau bisa jadi dancer K-pop. Mbah harus bisa mengerti, zaman sekarang sudah berubah. Lagi pula kenapa harus susah-susah belajar gerakan yang rumit dan memakai topeng segala?" tanyaku tetap tak tergerak.
Mbah Surip mengangguk pelan, mencoba memahami. Namun, sorot matanya menyiratkan kekecewaan. "Kalau begitu, terserah kamu, Gendis. Tapi Mbah akan tetap menari sampai akhir hayat Mbah, siapa tahu kelak kamu berubah pikiran."
Lembayung menghiasi cakrawala, mengantarkan mentari kembali ke peraduannya. Suara azan mulai terdengar dari masjid ujung Darussalam.
Selesai salat maghrib, aku melihat Mbah Surip duduk sendirian di beranda, menatap bulan yang menggantung di langit. Perlahan, aku mendekat, duduk di samping Mbah Uti tanpa mengucapkan sepatah kata.
"Nduk, Â Delengen jarik lurik sing dicekel iki nduweni sejarah sing ora bisa dilalekake," ujar Mbah Surip sambil menoleh padaku.
Aku hanya terdiam dan menunggu cerita Mbah. Sebenarnya aku sangat sayang dan mengagumi Mbah Surip sejak kecil. Namun, nasihat Mbah agar lebih baik menekuni tari daerah sebagai akar budaya Indonesia, membuatku sedikit kesal. Aku kecewa padanya. Aku ingin menekuni K-Pop karena ini adalah hal baru untukku.
"Jarik lurik niki peparingipun Kanjeng Sultan, Nduk. Sebagai hadiah karena Mbah menjadi penari termuda saat itu. Sekarang Mbah wariskan padamu. Pakailah jika suatu saat kamu akan menari Tari Topeng Kembali," ujar Mbah Uti seraya membelai rambutku.
Mbah Surip tersenyum, kali ini dengan wajah penuh harapan. Kemudian beliau masuk ke bilik kamarnya. Aku memandangi kain jarik yang diberikan Mbah Uti untukku. Ada perasaan aneh saat aku memegang kain jarik itu.