Sebagai seorang detektif, Bima merasa terpanggil untuk menyelidiki kasus ini. Bima mendekati Gunarsa, menawarkan bantuan untuk mencari pencuri gelang itu.
Malam itu, aula besar berubah menjadi ruang interogasi. Bima meminta semua orang berkumpul di tengah ruangan. Mata mereka tampak saling mencurigai. Bima memulai penyelidikan dengan memeriksa tempat kejadian. Kotak kaca itu utuh, tak ada bekas dibobol paksa, dan tak ada jejak sidik jari asing di sana. Ini bukan pekerjaan amatir.
Satu per satu, Bima mengajukan pertanyaan kepada setiap orang. Mereka semua memiliki alibi, tetapi ada satu hal yang menarik perhatian Bima. Luki, mantan ketua OSIS yang dulu terkenal licik, terlihat gelisah. Ia menghindari tatapan Bima dan terus memandangi lantai.
"Luki, di mana kau saat gelang itu hilang?" tanya Bima, mencoba membaca bahasa tubuh temannya itu..
"Aku ... aku di toilet," jawabnya singkat, masih menghindari kontak mata.
"Adakah saksi yang bisa menguatkan pernyataanmu?" tanya Bima seraya memandang tegas.
Luki menggeleng, membuat suasana semakin tegang. Namun, bukan hanya Luki yang mencurigakan. Ada Lina, mantan bintang sekolah yang tampaknya menyembunyikan sesuatu. Ketika Bima menanyakan keberadaannya saat gelang itu hilang, Lina menjawab dengan nada datar, "Aku di taman belakang, mengambil udara segar."
Kecurigaan semakin dalam ketika Bima melihat Andi, sahabat lama yang pernah berseteru dengan Gunarsa. Dia terlihat lebih tenang dari yang lain, terlalu tenang. Senyumnya yang biasa hangat kini terasa dingin, penuh misteri.
"Bagaimana denganmu, Andi?" tanya Bima, menatapnya tajam.
"Aku diam di sini, bersama yang lainnya," jawabnya dengan senyum yang tidak wajar.
Perlahan, Bima merangkai setiap potongan informasi. Setiap orang tampaknya memiliki motif dan kesempatan, tetapi tidak ada bukti konkret. Bima menyadari bahwa ini bukan sekadar pencurian biasa.