Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen "Jejak Kematian di Vila Merah"

20 Juni 2024   14:12 Diperbarui: 20 Juni 2024   16:46 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokumen pribadi by Canva

Allan Danudireja, seorang pengusaha muda yang sukses, ditemukan tewas bersama istrinya di Vila Merah. Kematian mereka yang misterius memicu banyak spekulasi, tetapi tidak ada bukti yang jelas untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.

Media sosial menayangkan peristiwa tersebut sehingga viral apalagi motif dan pelaku sampai tiga hari ini belum terkuak. Kamera CCTV yang terpasang di beberapa tempat tak mampu mengungkapkan siapa yang telah menyelinap ke vila itu.

Meylana Wu, seorang polwan keturunan Tionghoa yang cerdas dan pemberani, melangkah keluar dari mobil dinasnya. Dia datang bersama Mas Brama dan Mas Rasya, seniornya yang sedang menangani kasus itu. Wanita itu ditugaskan untuk membantu penyelidikan kasus tersebut. Kemampuan indigo dan instingnya yang tajam diharapkan dapat menguak motif dan pelaku pembunuhan.  

Meylana berdiri di depan vila mewah milik Allan Danudireja. Mas Brama dan Mas Rasya berdiri tak jauh dari dirinya. Vila itu berdiri megah, tetapi penuh dengan aura mistis. Vila yang telah diberi garis polisi itu kini menjadi tujuan investigasi mereka. Vila itu kini menjadi tempat yang menyeramkan, yang dirumorkan berhubungan dengan makhluk astral.

Mata Meylana menyapu pemandangan sekitar, mengamati setiap detail yang mungkin terlewatkan oleh orang lain. Desas-desus tentang makhluk astral di vila tersebut menambah ketegangan. Meylana, yang terkenal dengan intuisi tajamnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres sejak pertama kali ia menjejakkan kaki di halaman vila itu.

“Apa yang kamu rasakan?” Mas Bram menanyai Mey, saat melihat dirinya sedang memandang vila itu.

“Ada sesuatu yang gaib menguasai tempat ini, Mas. Aku merasa ada yang sedang mengawasi kita,” papar Mey sambil terus berjalan diikuti oleh kedua seniornya.

“Siapa yang pertama kali ditugaskan saat para korban ditemukan tewas?” tanya Mey lagi.

“Kami datang bersama beberapa petugas forensik. Pak Burhan, petugas keamanan yang menelepon kami.Tak lama kemudian Komandan juga datang. Mengapa, Mey?” Mas Rasya menjelaskan dengan penuh keheranan.

“Siapa yang pertama kali menemukan mereka tewas di kamarnya?” tanya Meylan lagi.

“Mbok Juminten, asisten rumah tangga di vila ini bersama Mang Adin, suaminya. Menurut pengakuan mereka, majikannya itu biasanya pukul lima sudah keluar kamar dan berolahraga di sekitar vila. Namun, sampai pukul delapan mereka belum keluar juga. Akhirnya Mbok Juminten, Mang Adin ditemani dua orang sekuriti membuka pintu kamar dengan kunci cadangan, dan saat itu majikan mereka ditemukan tewas di ranjang dalam posisi membelalak.” Mas Brama gantian menjelaskan kronologinya.

“Mey, yang lebih aneh saat kami membuka file CCTV dengan jam yang sama, semuanya tampak berjalan normal. Kamera CCTV tak pernah mati sedetik pun dan tidak menunjukkan kejanggalan apa-apa atau ada indikasi orang yang menyusup masuk,” ungkap Mas Rasya menambahkan.

“Seharusnya ada penjelasan siapa yang masuk ke kamar Tuan Allan karena kamera CCTV itu langsung mengarah ke lorong kamar mereka. Namun tak ditemukan apa-apa begitu juga sidik jari di tempat kejadian atau di tubuh korban.” Penjelasan Mas Bram semakin memperkuat keyakinan Meylan bahwa ada sesuatu yang mistis terjadi di vila ini.

Konon vila ini merupakan vila milik nenek moyang keluarga Allan yang diwariskan secara turun temurun. Allan dan keluarganya memang tak tinggal di vila itu. Mereka tinggal di rumah mewah yang terletak di kawasan elite Jakarta. Mereka hanya sesekali tinggal di rumah ini untuk mengurangi kepenatan karena letaknya di Puncak, Bogor. Setiap hari hanya para pekerja yang menunggui vila tersebut. Jumlah karyawan di vila itu ada lima, dua orang yang mengurusi bagian dalam rumah, dua orang penjaga dan satu tukang kebun.

Mereka menelusuri  lorong-lorong vila yang kini sudah tak berpenghuni. Para pekerja sudah minta berhenti, mungkin mereka ketakutan dengan kematian majikan mereka. Begitu juga dengan anak-anak Tuan Allan dan Arumi tidak bersedia menempati vila milik orang tua mereka.

Dengan menggunakan senter, mereka masuk ke salah satu ruangan yang berisi rak dipenuhi buku-buku. Rupanya ini ruangan perpustakaan keluarga karena di tengahnya tampak ada sofa untuk membaca.

“Mey … apakah kamu mencari sesuatu di sini?” tanya Mas Brama sambil menyoroti seluruh ruangan.

‘Siapa tahu ada petunjuk di sini yang belum ditemukan orang lain. Mungkin buku-buku di sini bisa memberikan kita informasi,” ujar Mey sambil terus menyusuri seluruh ruangan.

Di tengah kegelapan itu, Meylana menemukan sebuah buku harian milik Allan yang tersimpan di laci yang tak terkunci.

“Mas, saya menemukan ini. Mungkin ini diari Tuan Allan.” Mey menarik senter dari Mas Rasya dan menyorotinya ke arah buku,”Coba cari saklar lampunya, Mas biar bisa baca buku ini.”

Mas Brama mencari saklar lampu ruangan itu, dan untungnya lampu masih bisa menyala. Mereka mulai mengamati buku tersebut. Benar saja itu buku diari milik Tuan Allan. Di dalamnya terdapat  selembar kain berukuran sapu tangan dengan tulisan Cina kuno. 

Dalam catatannya, Allan menulis tentang mimpi buruk dan suara-suara yang mengganggu mereka sejak mereka menemukan kain itu di loteng vila. Kain itu bertuliskan huruf Cina kuno. Di bagian akhir buku Allan menuliskan bahwa dirinya merasa terjebak dalam mimpi buruk yang nyata, dan catatan terakhirnya berbunyi, "Hantu itu akan datang untuk menagih hutang darah."

Saat Meylana membaca halaman terakhir buku harian itu, dia merasakan kehadiran yang semakin kuat. Tiba-tiba, pintu kamar tempat Allan dan istrinya ditemukan terbuka dengan suara keras. Mereka segera keluar dari ruang perpustakaan dan berlari kea rah kamar Allan dan Arumi.

Cahaya remang-remang menerobos masuk, dan di ambang pintu, Meylana melihat bayangan samar seorang wanita berpakaian tradisional Tionghoa. Wajahnya yang pucat dan matanya yang kosong menatap langsung ke arah Meylana.

“Ada apa Mey?” tanya Mas Brama sambil menyentuh Pundak Meylan.”Apa yang kamu lihat?”

Meylana berdiri kaku, antara ketakutan dan keberanian yang bercampur aduk. Dia tahu bahwa dia harus mengatasi ketakutan ini. Dia menunjuk ke arah pintu.

“Aku tak melihat apa-apa, Mey. Ceritakan ada apa?” Mas Rasya mengguncang tubuh Meylan yang terus menunjuk ke arah pintu.

Meylana mencoba bergerak, tetapi tubuhnya seakan membeku di tempat. Tatapan tajam wanita berpakaian tradisional Tionghoa itu semakin mendekat, dan dengan setiap langkahnya, aura dingin menjalar di seluruh ruangan. Meylana merasakan jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bayangan itu berhenti hanya beberapa langkah di depannya, menatap langsung ke mata Meylana dengan mata kosong yang menakutkan.

"Hutang harus dibayar," suara itu terdengar, kali ini lebih jelas dan penuh dengan ancaman.

Meylana mencoba memanggil kedua seniornya, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Dia berusaha keras mengumpulkan keberaniannya, mengingat semua pelatihan dan pengalamannya dalam menghadapi situasi berbahaya. Dalam benaknya, dia tahu bahwa untuk mengakhiri semua ini, dia harus mencari tahu lebih banyak tentang "Hantu Hujan" dan hubungannya dengan kain yang ditemukan di loteng.

"Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan?" Meylana akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya meski terdengar gemetar.

Wanita itu tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya yang kosong. "Aku adalah penjaga hutang, hutang darah yang harus dibayar oleh mereka yang mencuri dari kami," jawabnya sambil menunjuk ke arah buku harian yang masih dipegang Meylana

Sebelum Meylana sempat bertanya lebih lanjut, bayangannya menghilang, dan ruangan kembali hening. Pintu kamar tertutup dengan sendirinya, dan Meylana terduduk lemas di lantai, masih memegang buku harian Allan.

Saat itu, Mas Bram dan Mas Rasya mendekati dengan wajah cemas. "Mey, kamu tidak apa-apa?" tanya Mas Bram, membantu Meylana berdiri.

"Aku... aku melihat sesuatu.ia berbicara tentang hutang darah," kata Meylana terengah-engah. "Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang kain di loteng dan 'Hantu'."Kedua seniornya saling berpandangan, Mereka pasti kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi karena mereka tidak melihat apa-apa.

"Kita akan mencari tahu, Mey. Tapi sekarang kita harus keluar dari sini," kata Mas Rasya sambil menarik Meylana .

Saat mereka tiba di pintu depan, Meylana berhenti sejenak, berbalik menatap vila yang tampak semakin suram di bawah cahaya senja. Dia tahu bahwa misteri ini belum selesai, dan dia bertekad untuk mengungkap kebenaran, apapun yang terjadi.

Bionarasi

Nama saya Nina Sulistiati. Pengajar Bahasa Indonesia di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi. Seorang pembelajar sepanjang hayat. Saya menulis tiga buku solo Novel" Serpihan Atma", Kumcer "Di Balik Duka Wanodya", kumpulan puisi"Kulangitkan Asa dan Rasa.

https://www.kompasiana.com/ninasulistiati0378       ig https://www.instagram.com/nlistiati/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun