Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepenggal Kisah

10 Mei 2024   07:41 Diperbarui: 12 Mei 2024   11:57 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isteri Asep sedang berbadan dua sehingga Asep  harus mengumpulkan uang buat persiapan Marni melahirkan. Untungnya Koh Ahong membekali isterinya makanan untuk santap malam mereka. Jadi biaya makan sedikit menghemat.

Kehidupan rakyat kecil seperti mereka tidak pernah peduli pada urusan politik apalagi mengurusi orang-orang kotor yang melakukan korupsi milyaran bahkan trilyunan rupiah. Mereka hanya memikirkan dari mana mereka mendapatkan uang untuk hidup mereka esok hari.

"Berapa banyak koper yang harus disiapkan ya, Mas untuk uang semilyar?" tanya Marni mengomentari tayangan televisi kasus korupsi yang ditontonnya di toko Koh Ahong.

"Tak perlu dipikirin , Mar. Wong kita pegang uang seratus ribu saja jarang, apalagi milyaran begitu, bikin mumet." Asep menjawab sambil menyeruput kopi panas di amben depan rumah.

"Iya , ya Mas. Bener juga. Buat kita yang penting punya uang buat beli makanan besok gitu, ya." Marni menyadari kebodohannya sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Hari itu  matahari membakar Jakarta. Panasnya merajalela sehingga membakar kulit setiap insan yang tak berlindung.  Padahal jarum jam butut di tangan Asep baru menunjukkan angka sembilan. Asep membawa delapan dus air mineral menuju lokasi demo dengan menggunakan bemo milik Cing Ali, tetangganya.

"Kamu harus hati-hati berjualan di sini. Sehari sebelumnya terjadi tragedi yang menyebabkan beberapa orang mahasiswa meninggal," nasihat Cing Ali sebelum meninggalkan Asep.  Asep hanya mengangguk.

Asep membawa dus-dus air mineral itu di dekat sebuah gedung pertokoan di bilangan Roxy. Di sana banyak para pendemo. Mereka pastinya haus dipanggang matahari Jakarta. Tenggorokan mereka pasti kering setelah berteriak-teriak melakukan orasi dan meminta pemerintahan orde baru lengser.

Harapan Asep melambung tentang dirinya yang mendapat keuntungan besar. Dia membayangkan senyum lebar isterinya saat melihat Asep membawa uang cukup banyak. Bagi Asep, kebahagiaan Marni dan jabang bayinya adalah hal yang paling utama.

Semakin siang   lidah matahari bertambah kuat menjilati bumi. Seharusnya para penghuni bumi ini pontang-panting mencari perlindungan karena kulit seperti terbakar, legam dan akan menghitam. Namun, para mahasiswa itu bergeming dan tetap menantang matahari. Mereka terus berteriak-teriak dan berorasi silih berganti di tengah kampus.

Asep memandangi mereka sambil menawari air mineral setiap ada mahasiswa yang melewatinya. Sisa dagangannya tinggal satu dus. Dia harus menghabiskan stok air mineral itu agar tidak dibawa pulang kembali apalagi Asep melihat puluhan mobil datang dengan membawa para mahasiswa dengan menggunakan atribut jaket dan kaos yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun