Negeri ini sedang bergolak. Harga pangan melambung setinggi langit. Krisis ekonomi moneter membelit. Berbagai usaha rakyat akhirnya pailit. Rakyat kecil hanya mampu menjerit. Â
Asep menonton tayangan berita di warung Mpok Imeh bersama beberapa teman, sambil menyeruput kopi. Â Berita demontrasi besar-besaran di beberapa daerah yang dilakukan oleh para mahasiswa. Mereka berharap agar adanya reformasi di Indonesia dan mengarah kepada upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat tanpa kecuali. .
Para mahasiswa di beberapa kampus di ibu kota pun melakukan hal yang sama. Banyak pula orang yang ikutan bicara padahal mereka tak paham apa-apa. Para pakar tata negara dan para politikus negeri ini pun banyak menganalisis tentang reformasi sebagai gerakan perubahan bagi rakyat Indonesia yang tak mudah dinalar oleh Asep.
"Wah ... mahasiswa pada demo. Emang kudu gitu, biar ada perubahan hidup," ujar Cing Ato, suami Mpok Imeh.
"Kalau kata aye demo itu kagak berarti kalau tak didukung para petinggi. Bener nggak, Sep?," timpal Mas Darmin sambil menyomot pisang goreng.
Asep tak menjawab. Dirinya tak paham apa-apa. Bagi Asep, saat demonstrasi merupakan peluang rejeki untuknya. Bila ada keramaian, Asep bisa berjualan air mineral dan berharap mampu menjual air mineral yang sangat banyak jumlahnya.
Koh Ahong mempercayai Asep untuk membawa stok air mineral tanpa harus membayar lebih dulu. Air mineral yang dia ambil dari toko Koh Ahong~majikan Marni~ satu botolnya seharga dua ribu lima ratus, tetapi dia bisa menjualnya dengan harga sepuluh ribu. Keuntungan yang diperoleh Asep berlipat-lipat.
 Asep tak peduli apa alasan para mahasiswa itu berdemo, atau siapa yang akan menjadi Presiden RI nanti. Yang penting buat Asep air mineral itu laku keras dan dia bisa membawa pulang uang banyak buat keluarganya. Harapan Asep yang lain adalah harga sembako jangan lagi naik seperti sekarang ini.
Konon pemerintah mengatakan harga beras Bulog itu hanya lima puluh ribu per sepuluh  kilo. Entah di mana kebocoran harga beras itu hingga melambung seperti roket.
 Banyak  tengkulak yang menimbun beras atau ada pejabat yang sedang senang bermain-main dengan perut rakyat dengan memainkan harga dan melakukan korupsi.
Marni, isterinya sudah mengeluh dengan berbagai kebutuhan pokok yang sudah sulit dibeli. Biasanya dengan sepuluh ribu rupiah, Marni sudah bisa membeli satu liter beras dan seperempat kilo telur ayam yang akan dimasak untuk dua kali makan. Dua butir untuk sarapan dan dua butir untuk makan siang.Â
Isteri Asep sedang berbadan dua sehingga Asep  harus mengumpulkan uang buat persiapan Marni melahirkan. Untungnya Koh Ahong membekali isterinya makanan untuk santap malam mereka. Jadi biaya makan sedikit menghemat.
Kehidupan rakyat kecil seperti mereka tidak pernah peduli pada urusan politik apalagi mengurusi orang-orang kotor yang melakukan korupsi milyaran bahkan trilyunan rupiah. Mereka hanya memikirkan dari mana mereka mendapatkan uang untuk hidup mereka esok hari.
"Berapa banyak koper yang harus disiapkan ya, Mas untuk uang semilyar?" tanya Marni mengomentari tayangan televisi kasus korupsi yang ditontonnya di toko Koh Ahong.
"Tak perlu dipikirin , Mar. Wong kita pegang uang seratus ribu saja jarang, apalagi milyaran begitu, bikin mumet." Asep menjawab sambil menyeruput kopi panas di amben depan rumah.
"Iya , ya Mas. Bener juga. Buat kita yang penting punya uang buat beli makanan besok gitu, ya." Marni menyadari kebodohannya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Hari itu  matahari membakar Jakarta. Panasnya merajalela sehingga membakar kulit setiap insan yang tak berlindung.  Padahal jarum jam butut di tangan Asep baru menunjukkan angka sembilan. Asep membawa delapan dus air mineral menuju lokasi demo dengan menggunakan bemo milik Cing Ali, tetangganya.
"Kamu harus hati-hati berjualan di sini. Sehari sebelumnya terjadi tragedi yang menyebabkan beberapa orang mahasiswa meninggal," nasihat Cing Ali sebelum meninggalkan Asep. Â Asep hanya mengangguk.
Asep membawa dus-dus air mineral itu di dekat sebuah gedung pertokoan di bilangan Roxy. Di sana banyak para pendemo. Mereka pastinya haus dipanggang matahari Jakarta. Tenggorokan mereka pasti kering setelah berteriak-teriak melakukan orasi dan meminta pemerintahan orde baru lengser.
Harapan Asep melambung tentang dirinya yang mendapat keuntungan besar. Dia membayangkan senyum lebar isterinya saat melihat Asep membawa uang cukup banyak. Bagi Asep, kebahagiaan Marni dan jabang bayinya adalah hal yang paling utama.
Semakin siang  lidah matahari bertambah kuat menjilati bumi. Seharusnya para penghuni bumi ini pontang-panting mencari perlindungan karena kulit seperti terbakar, legam dan akan menghitam. Namun, para mahasiswa itu bergeming dan tetap menantang matahari. Mereka terus berteriak-teriak dan berorasi silih berganti di tengah kampus.
Asep memandangi mereka sambil menawari air mineral setiap ada mahasiswa yang melewatinya. Sisa dagangannya tinggal satu dus. Dia harus menghabiskan stok air mineral itu agar tidak dibawa pulang kembali apalagi Asep melihat puluhan mobil datang dengan membawa para mahasiswa dengan menggunakan atribut jaket dan kaos yang sama.
Matahari semakin menggigit kulit tetapi Asep tetap bertahan. Dia semakin keras menawarkan air mineral sambil berjalan ke arah rumahnya. Dagangan yang tinggal satu dus itu dia panggul. Dia tetap menjajakan air mineralnya ke orang-orang yang sedang berorasi di luar kampus.
Tiba-tiba segerombolan orang berlari ke arah jalan seraya meneriakkan yel-yel. Tak jelas siapa mereka karena tak berjaket seragam. Mereka melempari beberapa petugas yang tengah berjaga.
 Tak berapa lama mereka menuju ke pusat pertokoan seputar Glodok dan melakukan aksi anarkis, mengusir pedagang-pedagang khususnya keturunan Tionghoa. Mereka  melakukan penjarahan dan membawa barang-barang yang ada di toko-toko. Jumlah mereka semakin bertambah dan petugas-petugas itu tak bisa berkutik karena kalah jumlah.
"Asep! Rek miluan moal(mau ikutan tidak)?" Tanya Ujang seorang pedagang asongan lain," Lumayan buat dipakai atau nanti bisa kita jual lagi. Hayu!"
Asep hanya bergeming. Dia memilih pulang daripada ikut-ikutan menjarah barang milik mereka, barang haram. Asep melihat tiga wanita Tionghoa  sedang dipaksa keluar toko elektronik oleh lima orang pemuda.
"Cici, kalian lebih baik menyelamatkan diri. Mereka sedang gelap mata," nasihat Asep kepada mereka. Asep membawa kelima perempuan Tionghoa itu ke ujung jalan agar selamat.
Tiba-tiba sebuah pukulan menghantam kepala Asep. Tubuhnya limbung dan pandangannya gelap. Asep tak ingat apa-apa.
 Saat tersadar Asep berada di sebuah ruangan bertembok putih. Dia melihat seorang wanita berbaju putih-putih sedang memeriksa selang infus yang terhubung ke tangannya. Di sampingnya seorang laki-laki sedang memeriksa
"Saya ada di mana?" tanya Asep singkat.
"Bapak ada di rumah sakit. Semalam polisi membawa Bapak dalam keadaan pingsan," papar suster itu.
Memori Asep mengulang peristiwa yang dialaminya. Mulai dari datang ke kampus untuk berjualan hingga terakhir Asep menolong lima wanita Tionghoa. Asep ingat isterinya bekerja di toko Koh Ahong. Bagaimana keadaan isterinya? Asep khawatir dengan isterinya yang sedang berbadan dua.
"Saya mau pulang, Pak," pinta Asep kepada dokter itu.
"Boleh, saya izinkan Bapak pulang. Kondisi Bapak sudah baik," jawab dokter,"Nanti suster akan memberikan obat untuk Bapak."
"Biaya ...," Asep ragu-ragu melanjutkan ucapannya.
"Bapak tidak usah khawatir, biaya rumah sakit sudah ditanggung pemerintah," jelas Suster.
Asep bergegas pulang setelah urusan rumah sakit selesai. Dia langsung menuju rumah kontrakannya. Di depan gang  terlihat bendera kuning terpancang.
"Siapa yang meninggal?" tanya Asep dalam hati. Hatinya mulai terasa tak enak.
Dia melihat para tetangganya berkumpul di depan rumah kontrakannya. Pikiran Asep mulai tak menentu, degup jantungnya berdetak kencang. Jangan ... jangan ...
"Asep kemana saja kamu? Kami mencarimu dari kemarin. Cing Ali mencari ke tempat kamu berjualan pun tak dapat menemukanmu." Pak Jayus, ketua RT, menyambutnya.
Asep berlari kencang ke dalam rumahnya. Dia melihat sesosok jasad tertutup kain kafan terbujur kaku di ruang tamu.
"Polisi menemukan jasadnya di toko Koh Ahong yang habis dijarah dan dibakar para perusuh," jelas Pak Jayus sambil menepuk-nepuk bahu Asep,"Sabar ya, Sep. Semua sudah menjadi kehendak Allah Swt."
Asep tak bisa berkata apa-apa. Dia ingin menjerit dan menangis sekencang-kencangnya seraya memeluk tubuh isterinya. Namun, Asep hanya bergeming. Entah di mana air matanya bersembunyi. Putus sudah segala impiannya. Laksana pepatah dirinya antan patah lesung hilang(tertimpa berbagai musibah). Asep diam sambil memandangi jasad isterinya.
Cibadak, 10 Mei 2024
Tokoh dan alur cerita hanya berdasarkan imajinasi penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H