Retno melihat dengan ekor matanya kedua temannya itu pergi seraya mencibirnya. Mereka memang tetap tidak berubah karakter.
"Terima kasih, Mbak Retno," ujar mereka yang sudah menerima makanan buat berbuka.
Retno tersenyum saat melihat orang-orang itu bahagia. Ada sesuatu yang terselip dalam hatinya. Kerinduan pada ibunya. Ibu yang dulu selalu berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan saat bulan Ramadan tiba meskipun hanya dengan sebungkus nasi uduk. Tak terasa bulir-bulir bening menetes di kedua pipinya.
Suara azan menggema di Mesjid Baiturahman, yang terletak tak jauh dari lapangan.
"Mbak, kita buka!" teriak anak-anak yang tadi sudah membantu Retno.
Mereka  berkumpul di meja kedai dan membuka makanan yang sudah disiapkan Retno untuk mereka. Tawa ceria mereka tampak memecah senja yang bersapu jingga.
Bagi Retno, kebahagiaan orang-orang itu sudah cukup. Dia tak ingin sesuatu yang berlebihan.
"Gubrak!" Suara keras terdengar dari luar kedai. Retno dan beberapa anak berlari ke arah luar.Â
Beberapa orang preman sedang berdiri di hadapan kedai sambil membawa kayu dan senjata tajam. Retno tak tahu siapa mereka dan apa keinginan mereka.
"Siapa kalian? Apa mau kalian?" teriak Fauji berani. Dia memang paling besar di antara anak-anak lainnya. Usianya tujuh belas tahun dan pasti dia tidak merasa takut karena Retno berhasil mendidiknya menjadi atlet karate.
"Fauji, jangan nekad!" perintah Retno yang khawatir melihat preman-preman itu banyak.