Sabuk hitam karatenya cukup membuat teman-temannya gentar jika akan melakukan kekerasan fisik pada Retno Kalau sekadar ejekan dan hinaan, Retno hanya bungkam dan tersenyum.Â
Mereka turun dari mobil mewah itu dan mendekati Retno yang akan bersiap-siap di kedai.
"Kasihan deh, kamu. Dari dulu sampai sekarang tidak ada perubahan. Dulu berjualan nasi uduk, eh ... sekarang pun tetap berjualan nasi uduk," cibir Anggun sambil tersenyum mengejek.
"Iya, nih. Katanya kamu anak yang cerdas dan meraih juara umum saat SMA. Kamu pasti tidak mampu kuliah ya karena orang tuamu tak ada biaya. Pastinya memang biaya kuliah itu mahal." Dea menambah hinaan kepada Retno dengan kata-kata pedas.
Retno hanya tersenyum dan menumpuk kesabaran dalam hatinya.
"Mana warungmu kecil, tak mungkin kamu bisa jadi orang kaya jika usahamu hanya seperti ini. Kamu lihat kami ini. Kuliah di universitas ternama, kini bekerja di perusahan yang bonafid pula," Anggun berkata sambil menertawakan Retno.
"Mbak ini siapa? Kok datang-datang menghina, Mbak Retno?" tanya Fauji-salah seorang anak yang membantu Retno, dengan nada sedikit kesal. Mungkin dia marah karena orang-orang yang tak dikenalnya itu menghina Retno.
"Eh ... kok bocil ini tidak sopan pakai marah segala!" Â bentak Anggun sambil melotot ke arah Fauji," ini pasti adikmu ya, Retno. Pantaslah kalian memang orang-orang rendahan yang tidak berpendidikan dan tidak tahu sopan santun."
Retno melihat Fauji ingin membalas ucapan Anggun, tetapi Retno melarangnya.
"Maaf, ya teman-teman, aku tidak bisa berbicara dengan kalian. Sudah banyak orang yang datang dan harus segera dilayani." Retno kemudian masuk ke dalam kedai karena orang-orang sudah banyak berkumpul.
Akhirnya Retno membantu anak-anak yang sudah mulai keteteran karena orang-orang itu mulai berebut. Hari ini bertambah orang-orang yang mengantre di kedainya.
"Sabar ... Insyaallah semua kebagian ya," ujar Retno meredakan kericuhan.