Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Arti Sebuah Keikhlasan

26 Februari 2024   14:07 Diperbarui: 28 Februari 2024   10:53 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokumen pribadi by Canva

Senja mulai bersiap-siap menyambut rembulan seraya mengantarkan mentari kembali ke peraduannya.  Lembayung merah saga yang menghias cakrawala menandakan jika sebentar lagi suara azan akan terdengar.

Retno menancap gas motor matic-nya agar tak terlambat datang ke lapangan Garuda. Anak-anak itu pasti sudah menunggu kedatangannya. Benar saja, lima orang anak sudah berdiri di depan lapaknya.

"Maaf, ya, Kakak terlambat. Ayo, bantu Kakak merapikan," ujar Retno sambil menyandarkan motornya.

Keempat  anak itu dengan sigap menurunkan bakul dan kotak  dari motor sedangkan seorang lagi membukakan pintu kedai yang masih terkunci rapat.

Retno tersenyum saat melihat anak-anak itu dengan sigap dan ceria membantunya menyiapkan lapak nasi uduk, dan minuman cendol yang biasa disiapkan setiap bulan Ramadan.

"Hai, Retno! Rupanya kamu berjualan di sini?" Tiba-tiba suara seorang perempuan terdengar dari  dalam mobil Fortuner yang berhenti tepat di depan kedainya.

Rupanya Dea dan Anggun,teman semasa SMA Retno, yang selalu melakukan perundungan karena Retno berjualan nasi uduk di sekolah. 

Mereka tidak menerima dirinya yang hanya seorang penjual nasi uduk dapat bersekolah di SMA favorit di kota ini. Mereka juga tidak rela jika Retno selalu mendapat prestasi terbaik di sekolah sehingga mendapat bea siswa dari sekolah.

Anak-anak itu memang memiliki orang tua yang harta kekayaan berlimpah. Mungkin segala kebutuhan materi selalu dipenuhi tetapi tidak dibekali dengan nilai-nilai kebaikan yang cukup.

Sejak dulu memang Retno selalu mengalah. Baginya apa yang diterimanya dari teman-temannya itu sebagai sebuah proses pendewasaan diri. Namun, tetap saja Retno akan membalas jika mereka sudah mengejek kedua orang tuanya.

Sabuk hitam karatenya cukup membuat teman-temannya gentar jika akan melakukan kekerasan fisik pada Retno  Kalau sekadar ejekan dan hinaan, Retno hanya bungkam dan tersenyum. 

Mereka turun dari mobil mewah itu dan mendekati Retno yang akan bersiap-siap di kedai.

"Kasihan deh, kamu. Dari dulu sampai sekarang tidak ada perubahan. Dulu berjualan nasi uduk, eh ... sekarang pun tetap berjualan nasi uduk," cibir Anggun sambil tersenyum mengejek.

"Iya, nih. Katanya kamu anak yang cerdas dan meraih juara umum saat SMA. Kamu pasti tidak mampu kuliah ya karena orang tuamu tak ada biaya. Pastinya memang biaya kuliah itu mahal." Dea menambah hinaan kepada Retno dengan kata-kata pedas.

Retno hanya tersenyum dan menumpuk kesabaran dalam hatinya.

"Mana warungmu kecil, tak mungkin kamu bisa jadi orang kaya jika usahamu hanya seperti ini. Kamu lihat kami ini. Kuliah di universitas ternama, kini bekerja di perusahan yang bonafid pula," Anggun berkata sambil menertawakan Retno.

"Mbak ini siapa? Kok datang-datang menghina, Mbak Retno?" tanya Fauji-salah seorang anak yang membantu Retno, dengan nada sedikit kesal. Mungkin dia marah karena orang-orang yang tak dikenalnya itu menghina Retno.

"Eh ... kok bocil ini tidak sopan pakai marah segala!"  bentak Anggun sambil melotot ke arah Fauji," ini pasti adikmu ya, Retno. Pantaslah kalian memang orang-orang rendahan yang tidak berpendidikan dan tidak tahu sopan santun."
Retno melihat Fauji ingin membalas ucapan Anggun, tetapi Retno melarangnya.

"Maaf, ya teman-teman, aku tidak bisa berbicara dengan kalian. Sudah banyak orang yang datang dan harus segera dilayani." Retno kemudian masuk ke dalam kedai karena orang-orang sudah banyak berkumpul.


Akhirnya Retno membantu anak-anak yang sudah mulai keteteran karena orang-orang itu mulai berebut. Hari ini bertambah orang-orang yang mengantre di kedainya.

"Sabar ... Insyaallah semua kebagian ya," ujar Retno meredakan kericuhan.

Retno melihat dengan ekor matanya kedua temannya itu pergi seraya mencibirnya. Mereka memang tetap tidak berubah karakter.

"Terima kasih, Mbak Retno," ujar mereka yang sudah menerima makanan buat berbuka.

Retno tersenyum saat melihat orang-orang itu bahagia. Ada sesuatu yang terselip dalam hatinya. Kerinduan pada ibunya. Ibu yang dulu selalu berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan saat bulan Ramadan tiba meskipun hanya dengan sebungkus nasi uduk. Tak terasa bulir-bulir bening menetes di kedua pipinya.

Suara azan menggema di Mesjid Baiturahman, yang terletak tak jauh dari lapangan.


"Mbak, kita buka!" teriak anak-anak yang tadi sudah membantu Retno.

Mereka  berkumpul di meja kedai dan membuka makanan yang sudah disiapkan Retno untuk mereka. Tawa ceria mereka tampak memecah senja yang bersapu jingga.

Bagi Retno, kebahagiaan orang-orang itu sudah cukup. Dia tak ingin sesuatu yang berlebihan.

"Gubrak!" Suara keras terdengar dari luar kedai. Retno dan beberapa anak berlari ke arah luar. 

Beberapa orang preman sedang berdiri di hadapan kedai sambil membawa kayu dan senjata tajam. Retno tak tahu siapa mereka dan apa keinginan mereka.

"Siapa kalian? Apa mau kalian?" teriak Fauji berani. Dia memang paling besar di antara anak-anak lainnya. Usianya tujuh belas tahun dan pasti dia tidak merasa takut karena Retno berhasil mendidiknya menjadi atlet karate.

"Fauji, jangan nekad!" perintah Retno yang khawatir melihat preman-preman itu banyak.

"Hentikan usahamu merayu para gelandangan di sini. Jika tidak kedai ini akan kami hancurkan!" teriak salah seorang dari mereka.

"Abang-abang, sabar, ya. Kalau boleh tahu maksud Abang apa ya?" Retno berusaha berbicara bijak.

"Pokoknya kami tidak mau kamu meneruskan bagi-bagi makanan itu di sini. Jika besok masih dilakukan, maka kedai ini akan kami bakar!"gertak laki-laki itu. Kemudian mereka pergi tanpa menjawab pertanyaan Retno.

"Apa salahnya? Mengapa mereka menghentikan semua ini? Siapa yang menyuruh?"

Deretan pertanyaan muncul di benak Retno. Suara iqomah dari mesjid membuyarkan lamunan Retno. Dia mengajak anak-anak untuk salat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun