Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ultah Versus Jodoh

9 November 2023   22:39 Diperbarui: 10 November 2023   06:04 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar dokumen pribadi by Canva 

"Aku terluka ya Rab tetapi aku yakin semua itu takdir-Mu. "

Bagi kebanyakan orang, moment ulang tahun adalah saat bahagia yang bisa dirayakan dengan keluarga, teman atau kekasih. Namun, bagi Ajeng, ulang tahun merupakan saat yang menyedihkan. Betapa tidak sedih, saat usiaku bertambah, jodoh yang akan menjadi pendamping hidup masih belum dihadirkan Sang Maha Pengasih.

Ujung- ujungnya aku memang harus bersiap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan klise.

"Kapan mau menikah? Kapan melepaskan masa lajang? Jangan memilih pasangan kalau mau cari suami. Jangan judes sama laki- laki biar gampang jodoh. Makanya jangan sekolah tinggi - tinggi jadi laki- laki minder buat menjadikan isteri." Serentet nyinyiran kerap aku dengar dan pastinya membuatku jengah. Duh... Gusti, siapa sih yang mau menjalani hidup seperti ini. Siapa pula yang memilih  calon suami.

"Nduk, sabar nggih. Yakin yen jodoh, bagja, ciloko hanya Gusti Allah yang mengatur." Ibu selalu membesarkan hatiku bila aku sudah merasa terpojok. Ibu juga yang selalu menjadi tempat curahan hatiku.

"Coba diruwat anakmu itu, biar cepet dapat suami. Biar aura negatifnya hilang," nasihat Mbah Sastro, tetanggaku. Ibu hanya tersenyum menanggapinya.

"Mungkin kamu suka duduk di pintu, Nduk sehingga kamu suit mendapat jodoh." ujar Mbok Darmo.

Memang ada mitos yang mengatakan barang siapa anak perempuan suka duduk di depan pintu, maka akan sulit mendapatkan jodoh. Hal itu juga menjadi tanda menolak datangnya lamaran

Acap kali batinku memberontak bila ulang tahun dan bertambahnya usia menjadi gunjingan seluruh keluarga bahkan tetangga- tetanggaku. Dan bulan depan tanggal tiga belas adalah tepat usia aku mencapai  tiga puluh enam tahun. Rasanya ingin sekali aku melewati saat itu.

Batinku lelah menghadapi takdir kesendirian. Gelar jomblo permanen sering disematkan beberapa teman kantor. Setan- setan di dalam aliran darahku menggoda agar aku marah, kesal, kecewa pada takdir yang aku terima.

"Masa usiamu sudah tiga puluh enam tahun, kamu belum juga menikah? Mana janji yang digadang- gadang jika setiap manusia itu berpasangan- pasangan?" Setan, iblis di dalam hatiku mulai mengusik," Kamu perawan tua. Kamu memang ditakdirkan tidak bersuami. "

"Benarkah aku memang ditakdirkan tidak mempunyai pasangan hidup. Itu artinya aku tidak diakui sebagai umat Nabi Muhammad. Tidaaaak! Ini tidak adil!" kalbuku mulai menuntut dan menggoda nalar yang mulai berpikir kacau

Ting. .. ada pesan masuk di handphone-ku. Rupanya pesan dari Sundari, sahabatku di kantor.

" Mbak Ajeng. Kamu harus datang ya ke rumahku malam nanti. Keluarga Mas Hanung akan datang untuk mengkhitbahku."

Jlep! Pesan singkat itu seperti menghunjam jantungku. Sundari, yang baru berusia 26 tahun, sudah dilamar kekasihnya. Sedangkan aku yang usianya sepuluh tahun lebih tua darinya, kekasih pun belum aku miliki

Aku tak menjawab pesan itu. Rasa malas menyergap. Aku tahu pasti orang- orang akan membandingkan aku dengan sahabatku itu. Pasti mereka akan nyinyir dan berkata"Sahabatmu saja sudah dapat calon suami. Nah kamu pacar pun belum ada." Aku heran mengapa orang selalu nyinyir pada hal- hal yang bukan jadi urusannya. Masalah jodoh bagi mereka tampak mudah seperti di sinetron- sinetron.

"Nduk, teleponmu bunyi lo dari tadi," suara ibu terdengar dari luar kamar.

Aku melihat handphone. Ternyata pemberitahuan panggilan sudah panjang. Dengan segan aku menerima panggilan Sundari.

"Mbak... Kok pesanku gak kau jawab, to?" rajuk Sundari yang sudah aku anggap sebagai adikku sendiri.

"Maaf, Ndari.  handphone Mbak silent. "Aku menjawab ogah- ogahan.

"Mbak datang ya nanti malam. Please...." Sundari merengek.

"Ya... Aku usahakan," jawabku cepat dengan harapan Sundari tak perlu lama menelepon.

Setelah menerima telepon Ndari, aku matikan handphoneku agar tak ada lagi yang menghubungi khususnya Sundari karena aku pasti tak akan datang.

***

Aku memandang kabut yang menutupi Puncak dari balkon hotel tempatku menginap Perkebunan teh terhampar luas laksana permadani di mayaoada. Sejak dua hari lalu, aku berada di sini. Untung saja pengajuan cuti selama tiga hari disetujui oleh pimpinan ku. Aku mengambil cuti tanggal 12, 13 dan 14 untuk menghindari nyinyiran keluarga dan tetangga pada saat hari ulang tahunku. Aku melarikan diri dari kenyataan yang setiap tahun pasti terjadi. Nyinyiran tetangga, teman dan kerabat saat mereka bertemu denganku dapat aku hindari

Wah... tak ada pesta ultah, Mbak nih," protes Gendis adik bungsuku saat aku hendak berangkat

Aku memang merahasiakan alasan sebenarnya. Mereka hanya tahu jika aku mendapat tugas luar dari kantor. Hanya ibu yang tahu alasan sebenarnya

Angin dingin Puncak membuatku merapatkan sweater. Dari pagi aku memang tidak beranjak dari hotel. Rasanya ingin sekali aku menikmati kesegaran pagi di sini. Rintik air yang terdengar dari air mancur taman laksana simfoni indah yang sayang jika dilewatkan.

Di atas balkon juga, aku melihat sepasang muda mudi yang sedang bercengkrama di kolam renang. Dinginnya air buat mereka tak berarti apa- apa jika dibandingkan rasa cinta yang sedang bersinar.

Suara aneh terdengar dari lambungku, mungkin memberontak karena sejak kemarin siang aku hanya mengisinya dengan semangkuk sayur dan segelas jus mangga.

Aku bergegas bangkit agar aku tak didemo oleh cacing- cacing dalam perutku. Saat tiba di resto hotel, aku segera memilih menu breakfast yang tersedia kemudian menghempaskan tubuh kecilku di sofa yang terletak di sudut kanan.

Aku. sangat menikmati kesendirian beberapa hari ini tanpa mendengar gunjingan dan pertanyaan tentang jodoh saat bertambahnya usia. Walaupun ada perih yang menyobek kalbuku saat mengingat semuanya..

"Happy Birthday to you! Happy Birthday to you! Happy Birthday...." Suara kidung ulang tahun disertai musik biola dan saxophone terdengar keras di ruangan itu. Rupanya ada yang berulang tahun hari ini. Rasa penasaran menyelimuti hatiku. Kok kelahirannya sama ya dengan tanggal kelahiran ku..

Aku mulai merasa terganggu dengan suasana itu. Rasanya aku ingin segera menenggelamkan diri di kamar, tetapi aku belum selesai mengunyah seluruh makanan di piring.

Suara musik itu semakin mendekat ke arah tempat dudukku. Aku berniat segera pergi dari ruangan itu.

"Happy Birthday Ajeng Ayunindia Prameswari." Seorang laki- laki muncul dari kerumunan pemusik dan penyanyi. Dia sangat handsome. Aku mencoba untuk mengingat siapa laki- laki ini sebenarnya.

"Apakah aku mengenalnya? Siapa dia?" Aku berpikir keras untuk mengingat sosok laki- laki itu, "Orang yang biasa memanggil nama seperti itu hanya ada seorang... tetapi itu tidak mungkin. Dia sudah pergi ke Amerika bersama keluarganya sebelum lulus SMA. Aku tidak mendengar kabarnya lagi setelah itu."

"You remember, Me, Prameswari?" Pemuda itu mengajak berbicara. Aku masih bingung. Hanya seseorang yang menggunakan nama itu untuk memanggilku.

"Satria Wicaksono?" Suaraku hampir tak terdengar. Laki- laki itu melebarkan senyumnya yang khas. Senyum yang selalu membuat jantungku berdebar kencang.

"Are you here?" Aku meninggikan suaraku. Aku tak menyangka akan bertemu lagi dengannya.

Sekelebat memori hadir dalam benakku. Sahabat putih abu- abu yang penuh empati dan simpati khususnya saat aku mengalami perundungan oleh beberapa teman yang tidak suka kepadaku.  Setiap ulang tahun, Satria selalu memberikan kejutan- kejutan manis dan indah.

"Kok kamu bisa tahu aku di sini?" tanyaku seraya memandangnya.

"Tak sengaja aku memeriksa beberapa pengunjung di hotel ini. Aku melihat KTP dan foto yang ada di situ. Aku yakin itu kamu. I miss you. Untungnya kita dipertemukan di sini."Satria berbicara cepat seperti kebiasaannya selama ini,"Aku ingat hari ini adalah ultahmu, Semoga kau selalu bahagia."

Aku tersenyum kecil. Mungkin ini adalah campur tangan Tuhan untuk mempertemukan aku dan Satria. Setelah ini entah kisah apa lagi yang akan terjadi kepadaku. Sebuah rahasia yang hanya menjadi hak Sang Pencipta

Cibadak 9 November 2023

Bionarasi: Namanya Nina Sulistiati. Seorang guru SMP yang gemar menulis khususnya genre fiksi. Buku solo yang telah ditulisnya berjudul" Asa Di Balik Duka Wanodya, kumpulan cerita pendek", Novel "Serpihan Atma" dan dua puluh lima buku antologi bersama. Ig: nlistiati   fb: ninasulistiati, youtube:Nina sulistiati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun