"Benarkah aku memang ditakdirkan tidak mempunyai pasangan hidup. Itu artinya aku tidak diakui sebagai umat Nabi Muhammad. Tidaaaak! Ini tidak adil!" kalbuku mulai menuntut dan menggoda nalar yang mulai berpikir kacau
Ting. .. ada pesan masuk di handphone-ku. Rupanya pesan dari Sundari, sahabatku di kantor.
" Mbak Ajeng. Kamu harus datang ya ke rumahku malam nanti. Keluarga Mas Hanung akan datang untuk mengkhitbahku."
Jlep! Pesan singkat itu seperti menghunjam jantungku. Sundari, yang baru berusia 26 tahun, sudah dilamar kekasihnya. Sedangkan aku yang usianya sepuluh tahun lebih tua darinya, kekasih pun belum aku miliki
Aku tak menjawab pesan itu. Rasa malas menyergap. Aku tahu pasti orang- orang akan membandingkan aku dengan sahabatku itu. Pasti mereka akan nyinyir dan berkata"Sahabatmu saja sudah dapat calon suami. Nah kamu pacar pun belum ada." Aku heran mengapa orang selalu nyinyir pada hal- hal yang bukan jadi urusannya. Masalah jodoh bagi mereka tampak mudah seperti di sinetron- sinetron.
"Nduk, teleponmu bunyi lo dari tadi," suara ibu terdengar dari luar kamar.
Aku melihat handphone. Ternyata pemberitahuan panggilan sudah panjang. Dengan segan aku menerima panggilan Sundari.
"Mbak... Kok pesanku gak kau jawab, to?" rajuk Sundari yang sudah aku anggap sebagai adikku sendiri.
"Maaf, Ndari.  handphone Mbak silent. "Aku menjawab ogah- ogahan.
"Mbak datang ya nanti malam. Please...." Sundari merengek.
"Ya... Aku usahakan," jawabku cepat dengan harapan Sundari tak perlu lama menelepon.