Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cernak: Sepatu Merah Anandia

26 Oktober 2022   19:31 Diperbarui: 26 Oktober 2022   23:07 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Sepatu Merah Anandia karya Nina Sulistiati ini  dimuat dalam buku Antologi Ceria(Cerita Islami Remaja) karya bersama komunitas penulis Dandelion.

"Pokoknya, belikan aku sepatu merah yang di toko tadi, Bunda. Please!" Aku menjerit keras seraya menangis dan menarik-narik baju Bunda. Hal itu tentu saja mengundang perhatian pengunjung lain di mal itu.

"Nandia, sudah dong menangisnya. Lihat, banyak orang yang melihatmu," bujuk Bunda dengan sabar. Bukannya berhenti, tangisanku semakin keras.

Bunda membawaku ke sudut mal. Aku duduk di bangku yang tersedia di sana. Bunda membiarkan aku merajuk. Beberapa pengunjung menyaksikan aku yang sedang menangis. Bunda hanya tersenyum saat ada beberapa ibu yang menanyakan alasanku menangis.

Selang beberapa saat tangisanku mereda. Aku memeluk Bunda saat menyadari diriku menjadi tontonan orang.

"Ini minumlah. Kamu capek, kan?" Bunda menyodorkan botol minuman yang berisi air mineral.

"Mengapa Bunda tidak mau membelikan sepatu untuk Nandia? Bunda tidak sayang lagi padaku, ya?" tanyaku sambil menatap Bunda tajam.

Baca juga: Sang Bidadari

"Nandia, dengarkan Bunda! Apakah kamu tahu alasan Bunda tidak mengabulkan permintaanmu?" tanya Bunda sambil balik menatapku. Aku menggelengkan kepala.

Baca juga: Puisi Tafakur

"Dua minggu lalu, kamu sudah membeli sepatu biru. Kemudian satu bulan lalu pun, kamu membeli sepatu hitam. Koleksi sepatumu sudah terlalu banyak. Sedangkan sepatu yang kamu gunakan hanya sepasang. Alasan lain ada berapa angka di bandrol harga sepatu itu, tujuh angka. Artinya sepatu itu sangat mahal buat Bunda. Bunda tidak mempunyai cukup uang untuk membelinya." Bunda memberikan pengertian kepadaku.

"Tapi warna dan modelnya berbeda, Bunda. Sepatu itu sedang viral dan digunakan oleh artis Korea idolaku," jawabku sambil cemberut.

"Bunda tetap tidak mau membelikan lagi sepatu. Takutnya mubazir. Kamu 'kan tahu jika ada barang mubazir, kita termasuk teman setan," tegas Bunda kembali," Ayo, kita pulang. Ayah dan Kak Tia pasti sudah menunggu."

Sampai malam hari aku tetap merajuk dan mengurung diri di dalam kamar. Aku tidak mau makan malam. Tujuanku agar Bunda dapat memenuhi keinginanku. Biasanya dengan cara ini, keinginanku selalu dikabulkan.

Tok ... tok ... tok ..., suara pintu terdengar keras. Aku melihat Kak Tia membawa sepiring nasi dan ayam goreng kecap kesukaanku.

"Hai! Adikku sayang. Ini kakak bawakan makanan kesukaanmu. Kamu makan, ya." Kak Tia membujukku yang sedang meringkuk di kasur.

Aku diam saja. Padahal, perutku sangat lapar. Akan tetapi, aku tidak mau mengubah keputusanku. Bunda harus bisa memenuhi keinginanku.

"Dik Nandia, Sayang. Kakak suapi, ya," bujuk Kak Tia pelan. Aku tetap diam saja. Sikapku membuat Kak Tia menyerah dan akhirnya keluar.

Aku melihat Kak Tia meninggalkan nasi dan air minum di meja belajarku. Aku segera bangun dan menghabiskan makanan itu.  Perutku sangat lapar gegara aksi protes ini. Aku tak menyadari jika Kak Tia mengintip perbuatanku dari pintu sambil tersenyum.

***

Keesokan harinya, aku berangkat ke sekolah sendiri. Ayah, Bunda, dan Kak Tia sudah berangkat pagi-pagi. Kebetulan sekolahku dekat sehingga aku bisa berangkat agak siang. Sekolahku dapat kutempuh dalam waktu sepuluh menit karena jaraknya yang dekat dengan rumah.

Setelah berpamitan pada Mbok Nah, aku berjalan kaki ke sekolah. Saat tiba di gerbang sekolah, aku melihat sahabatku, Reni, sedang menunduk lesu.

Reni sahabatku sejak kelas satu. Dia sangat pandai sehingga kami sering belajar bersama. Meskipun Reni berasal dari keluarga yang kurang mampu, aku senang bermain dengannya.

Bunda selalu mengajarkan bahwa tidak boleh memilih teman. Nilai kebaikan di mata Allah itu terletak pada ketaatan-Nya kepada perintah Allah. Apalagi, Reni sangat baik dan taat beribadah.

"Assalamualaikum, Reni. Selamat pagi!" sapaku ramah kepada sahabatku ini.

"Pagi, Nandia," jawabnya lesu seraya menundukkan kepalanya.

"Hai ... kok kamu lesu seperti itu. Kamu belum sarapan?" tanyaku sambil memeluk tubuhnya," Nih, aku bawa bekal banyak. Kita bisa memakannya bersama."

Reni menggelengkan kepala dan menunjuk ke arah bawah.

"Aku malu, Nan," jawabnya pendek sambil memandang ke arah kakinya.

"Ada apa dengan, kakimu?" tanyaku tak mengerti sambil terus memandang kaki Reni.

"Sepatuku sobek, Nandia." Reni memperlihatkan sepatunya yang sobek di bagian depan.

Aku terpaku ketika melihat sepatu sahabatnya itu. Sepatu itu memang sudah tak laik pakai. Bagian depannya sudah sobek sehingga kaki Reni terlihat dari luar.

"Kamu tidak mempunyai sepatu lain?" tanyaku lagi. Reni hanya menggelengkan kepala.

"Kamu tidak meminta kepada ibumu untuk membeli yang baru?" Aku kembali menanyakan kepada Reni.

"Ibuku tidak mempunyai uang. Buat beli beras saja harus menunggu Bapak pulang dari Jakarta," jelas Reni sedih.

Aku tercekat. Aku malu pada diriku sendiri. Aku memiliki sepatu tujuh pasang dan kini ngotot agar Bunda membelikanku sepatu warna merah yang aku incar kemarin. Namun, Reni hanya memiliki sepasang sepatu dan itu pun sudah sobek di bagian depannya.

"Ayo, kita masuk dulu ke kelas. Nanti, kamu pulang bareng aku, ya. Di rumah ada sepatu yang dapat kamu pakai," ajakku seraya menggamit bahu Reni.

"Sungguh, Nandia? Terima kasih sebelumnya," teriak Reni sambil memelukku.

Kami masuk kelas dengan senyum bahagia. Aku terharu melihat senyum Reni.

Sesuatu menyelinap dalam hatiku. Rasa penyesalan muncul karena sikapku keras kepala selama ini. Aku merasa Bunda tidak sayang kepadaku gegara keinginanku tidak dituruti. Sementara Reni, sahabatku sendiri mengalami kesulitan hidup.

Sepulang sekolah aku mengajak Reni ke rumah. Saat tiba di rumah, Bunda sudah pulang dari kantor.

"Assalamualaikum, Bunda," sapaku sambil tersenyum. Reni juga memberikan salam dan mencium tangan Bunda sambil tersenyum.

"Waalaikummussalam. Anak Bunda sudah tidak ngambek lagi, nih?" tanya Bunda seraya mencubit pipiku.

"Maafkan, Nandia ya, Bun. Pasti Bunda kesal menghadapi sikapku. Aku janji tidak akan merajuk lagi," ucapku sambil memeluk Bunda. Tanpa terasa air mataku menetes perlahan saat Bunda memelukku. Kasih sayang Bunda selama ini sangat besar untuk kami anak-anaknya.

"O ya, Bunda, aku minta izin. Aku ingin memberikan salah satu sepatuku untuk Reni. Kasihan Reni, sepatunya sudah rusak." Aku memandang Bunda penuh harap.

"Boleh tidak, ya?" goda Bunda sambil tersenyum," Tentu saja boleh, Sayang. Daripada sepatumu mubazir dan tidak terpakai."

"Alhamdulillah!" seru Reni sambil memelukku," Terima kasih, Nandia."

"Ayo! Kamu ikut ke belakang. Kamu bisa memilih sepatu mana yang akan kau ambil," ajakku sambil menggandeng tangan Reni.

Sekali lagi ada binar kebahagiaan di mata Reni. Hal itu membuatku semakin berbahagia. Ternyata berbagi dengan sahabat itu sangat menyenangkan.

Aku juga sangat bersyukur karena selama ini Bunda sudah mengabulkan setiap keinginanku. Aku mengacungkan jempol ke arah Bunda yang tertawa melihat kelakuanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun