"Ibuku tidak mempunyai uang. Buat beli beras saja harus menunggu Bapak pulang dari Jakarta," jelas Reni sedih.
Aku tercekat. Aku malu pada diriku sendiri. Aku memiliki sepatu tujuh pasang dan kini ngotot agar Bunda membelikanku sepatu warna merah yang aku incar kemarin. Namun, Reni hanya memiliki sepasang sepatu dan itu pun sudah sobek di bagian depannya.
"Ayo, kita masuk dulu ke kelas. Nanti, kamu pulang bareng aku, ya. Di rumah ada sepatu yang dapat kamu pakai," ajakku seraya menggamit bahu Reni.
"Sungguh, Nandia? Terima kasih sebelumnya," teriak Reni sambil memelukku.
Kami masuk kelas dengan senyum bahagia. Aku terharu melihat senyum Reni.
Sesuatu menyelinap dalam hatiku. Rasa penyesalan muncul karena sikapku keras kepala selama ini. Aku merasa Bunda tidak sayang kepadaku gegara keinginanku tidak dituruti. Sementara Reni, sahabatku sendiri mengalami kesulitan hidup.
Sepulang sekolah aku mengajak Reni ke rumah. Saat tiba di rumah, Bunda sudah pulang dari kantor.
"Assalamualaikum, Bunda," sapaku sambil tersenyum. Reni juga memberikan salam dan mencium tangan Bunda sambil tersenyum.
"Waalaikummussalam. Anak Bunda sudah tidak ngambek lagi, nih?" tanya Bunda seraya mencubit pipiku.
"Maafkan, Nandia ya, Bun. Pasti Bunda kesal menghadapi sikapku. Aku janji tidak akan merajuk lagi," ucapku sambil memeluk Bunda. Tanpa terasa air mataku menetes perlahan saat Bunda memelukku. Kasih sayang Bunda selama ini sangat besar untuk kami anak-anaknya.
"O ya, Bunda, aku minta izin. Aku ingin memberikan salah satu sepatuku untuk Reni. Kasihan Reni, sepatunya sudah rusak." Aku memandang Bunda penuh harap.