Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepergian Nadia

21 Agustus 2022   16:06 Diperbarui: 21 Agustus 2022   18:34 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi By Canva

Tembok putih rumah sakit ini sudah kupandangi hampir 2 jam lamanya bergantian dengan para pasien yang tampak juga sudah gelisah menunggu diperiksa dokter. Aku sudah dua jam menunggu giliran. Aku sudah  satu bulan tidak haid. Tadi pagi aku mengecek dengan tes pack . Dua garis merah ada di alat tersebut.

Alhamdulillah, aku segera memberitahukan suamiku. Namun suamiku kurang percaya. Dia menyuruhku untuk memeriksakan kandungan ke dokter Dina. Sebenarnya aku bisa minta didahulukan karena Dokter Dina itu sepupu suamiku, tapi aku tidak mau melakukan itu. Alhasil sejak dua jam lalu aku mengantre di klinik dokter Dina dan akhirnya aku dipanggil oleh perawat dan disuruh masuk ruang periksa. Aku segera masuk ke ruangan dokter Dina.

"Apa kabar, Mbak!" tanya dokter Dina sambil menyuruh duduk.

"Aku sudah telat, Dik. Tadi pagi aku sudah tes pack dan hasilnya positif. Namun suamiku belum percaya," jawabku pelan. Dokter Dina tersenyum. Dia pasti sudah tahu karakter mas Danu, suamiku. Dia kan masih sepupu dokter Dina.

" Ya sudah, sini aku periksa. Biar mas Danu percaya," kata dokter Dina lagi.

Dokter Dina memeriksa aku dengan cermat. Dia malah memeriksa dengan USG. Nih mbak, insyaallah mbak memang hamil. Usia kehamilannya 4 Minggu. Selamat ya, Mbak," jelas dokter Dian sambil memeriksa perutku.

Setelah selesai memeriksakan kehamilan, aku pulang dengan taksi on line yang kupesan tadi. Mas Danu, suamiku tidak bisa mengantarkan karena sedang sibuk mengirim barang ke kota Bandung. Alhamdulillah. Rasanya kebahagiaanku bertambah setelah empat tahun aku menunggu, akhirnya aku hamil lagi. Aku mengharapkan punya anak lagi pengganti Nadia, putriku yang meninggal empat tahun lalu.

Aku berharap anak yang tengah aku kandung ini berjenis kelamin perempuan. Jadi lengkap sudah keluarga kecilku. Bimo, anak laki-laki pertamaku dan yang kedua ini bayi perempuan pengganti Nadia puteri kecilku yang sudah kembali kepada sang khalik.

"Huh..," aku menghela napas panjang sekedar melepaskan beban berat yang sudah sekian tahun ferpendam di hati ini,"Nadia, ibu kangen kamu." Tetiba aku merindukan Nadia.

Aku teringat pada perjuangan saat melahirkan Nadia. Jarak Nadia dengan Bimo, putra sulungku enam tahun. Usiaku saat melahirkan Bimo 29 tahun. Saat aku melahirkan Nadia usiaku sudah 35 tahun. Aku memang terlambat menikah. Takdirku memang menikah di usia itu. Bimo lahir normal meski aku berjuang untuk bisa melahirkannya. 

Beratnya hampir 4,2 saat lahir. Pantas saja aku mengalami kesulitan untuk mengeluarkannya. Aku melahirkan Bimo di klinik bersalin di desa. Aku hampir tak dapat bertahan karena sudah mengeluarkan darah banyak sedangkan bayi belum bisa keluar. 

Akhirnya aku dibawa ke rumah sakit PKU di kota. Karena bayi terlalu besar,dokter mengambil tindakan vacum. Alhamdulillah, Bimo lahir tanpa tindakan operasi. Kebahagiaan kami lengkap sudah . Aku sempat kaget juga saat bayi kecilku disimpan di perutku. 

Sebuah keajaiban besar bagiku meski aku melihat kepala anakku seperti kepala lele. Alhamdulillahnya lagi di desaku ada seorang paraji yang bisa memperbaiki bentuk kepala anakku seperti biasa lagi.

Empat tahun setelah melahirkan Bimo, aku hamil lagi. Dan bahagianya hati kami saat dokter mengatakan bahwa bayi yang sedang kukandung berjenis kelamin perempuan. Lengkap sudah keluarga kami kelak. Keluargaku memang melaksanakan program dari pemerintah Keluarga Berencana. Cukup dua anak saja. 

" Maaf, Bu. Tujuan ibu kemana? " tanya supir taksi membuyarkan lamunan. O, ya aku tadi belum memberitahu kemana tujuanku. Aku jadi tersenyum malu.

"Ke Supermall ya, Pak," jawabku menahan malu.

Mobil melaju pelan menuju Supermall. Aku mampir sekalian untuk membeli beberapa kebutuhan dapur yang habis. Aku melihat banyak orang yang berlalu lalang di pertokoan. Mungkin karena awal bulan, tidak hanya toko sembako saja yang ramai, tap juga toko pakaian dan toko perhiasan pun penuh didatangi pembeli.

Aku turun tepat di pintu masuk supermall. Setelah membayar taksi, aku segera melenggang ke arah toko. Sebelum membeli beberapa kebutuhan dapur, aku mampir untuk membeli minuman di salah satu cafe dekat pintu masuk. 

Aku memesan jus mangga tanpa gula kesukaanku. Beberapa  pengunjung  masuk dan membawa anak-anak. Aku melihat seorang anak perempuan lucu. Rambutnya berkucir dua. Aku mengira umurnya mungkin sekitar lima tahunan.

"Hm...mungkin seumuran dengan Nadia," desahku dalam hati.

Aku kembali mengingat kisah kelahiran Nadia. Nadia lahir dengan tindakan operasi Caesar. Waktu itu usia kandunganku sudah hampir sepuluh bulan. Aku ingat waktu itu hari Jumat. Aku pergi ke dokter Andrian , dokter kandungan yang biasa memeriksaku. Suamiku ikut mengantarku saat itu.

"Usia kehamilan ibu sudah 39 minggu. Jika bayi tidak segera lahir, khawatir akan lemas karena kekurangan oksigen," jelas dokter Andrian sambil memperlihatkan layar USG kepada kami.

"Apa yang harus kami lakukan, Dok?" tanyaku tak mengerti.

"Ibu lebih baik menginap di sini ya. Nanti akan saya berikan induksi untuk merangsang agar perut ibu kontraksi," jelas dokter Andrian.

Aku dan suamiku setuju. Dokter menyuruhku kembali sore nanti. Akhirnya aku dirawat inap di klinik milik dokter Andrian. Dokter memberiku pil perangsang mulas untuk merangsang kontraksi. Namun hingga malam tiba rasa mulas itu tak kunjung datang.

Keesokan harinya, hari Sabtu siang dokter memberiku obat suntikan dengan harapan aku bisa kontraksi dan.melahirkan normal. Hingga pukul 8 malam rasa mulas itu pun belum ada.

"Wah, ambang sakit ibu tinggi sekali, ya. Biasanya pasien yang diberi obat induksi saja segera mules. Dan kata mereka sakitnya tak tertahankan . Tapi ibu sampai diberi suntikan , mulesnya belum muncul," ujar dokter Andrian.

Akhirnya dokter Adrian memutuskan untuk mencoba induksi dengan balon. Saat itu aku mengiyakan tanpa paham efek dari tindakan itu. Hingga pukul 2 dini hari, rasa mules itu tak kunjung hadir juga.

Sepanjang proses melahirkan itu, suamiku tampak tegang. Bagaimana tidak dua hari dua malam bayi kami belum dilahirkan. Aku juga berusaha membaca ayat-ayat Al Qur'an , meminta pertolongan kepadaNya agar kelahiran anak kedua ku lancar.

Saat menjelang subuh, bayiku belum dilahirkan juga sementara air ketuban sudah pecah katena tindakan induksi tadi malam. Dokter akhirnya memberitahu bahwa persalinan harus dengan tindakan operasi.

Mendengar kata operasi saja, tubuhku sudah gemetar. Aku membayangkan proses operasi Caesar yang mengerikan. Suamiku menguatkan hatiku.

Keesokan harinya,  aku dibawa ke rumah sakit. Aku tidak sadar saat operasi berlangsung. Aku mungkin dibius total karena tubuhku sudah kehabisan tenaga. Selang beberapa jam, aku tersadar dan sudah berada di ruang perawatan. O ya, bayi mungilku kuberi nama Anadia. Dia lahir dengan berat badan 4,2 kg dan tinggi 54 cm. Kata ibu mertuaku, dia mirip dengan ayahnya.

Kebahagiaan kami lengkap sudah karena sudah dikarunia sepasang anak, laki-laki dan perempuan.

Aku belum bisa menengok anakku karena masih belum bisa jalan. Bayiku dirawat di ruang bayi yang letaknya agak jauh. Setiap pagi, bayiku dibawa ke ruanganku untuk aku beri ASI. Mungkin efek dari operasi, ASI-ku tidak keluar. Oleh karena itu bayi mungilku diberi susu formula.

Satu Minggu aku dirawat di rumah sakit . Tepat hari Kamis aku diperbolehkan pulang sedangkan anakku masih harus diinkubasi karena kulitnya kuning. Menurut dokter kadar billirubin pada bayiku sangat tinggi sehingga kulit dan mata bayiku kuning.

Dengan ikhlas kubiarkan bayiku tinggal di rumah sakit lebih lama.  Setiap pagi suamiku menengoknya.

Setelah satu minggu, Nadia diizinkan pulang. Namun kebahagiaan itu sirna saat melihat kondisi Nadia. Setelah berada dua hari di rumah, aku melihat ada sesuatu yang berwarna putih di mulut Nadia.

Atas saran ibu mertua, aku membuat minyak kelapa dan dioleskan ke mulut. Sesaat Nadia menangis saat kuoleskan minyak kelapa tersebut. Akhirnya aku membawa Nadia ke dokter.

"Mengapa ada warna putih di mulut anak saya, Dok?" tanya ku pada dokter Diana yang selesai memeriksa Nadia.

"Ibu tidak memberikan ASI ya kepada bayi ibu?" tanya dokter Dian balik bertanya.

"Iya, Dok. ASI saya belum keluar paska operasi. Lalu apa yang ada di mulut Nadia?" Aku memandang dokter Dian tak sabar.

"Warna putih itu jamur. Karena bayi ibu meminum susu formula sehingga jamur itu mudah tumbuh. Bayi balu lahir sebaiknya hanya diberikan ASI sehingga tidak mudah terkena bakteri dan jamur yang berasal dari botol dan sebagainya.

Dokter Dian memberikan obat anti jamur untuk Nadia. Kami pulang dengan harapan Nadia segera pulih.

Namun kondisi Nadia semakin memburuk. Jamur sudah merambat ke bagian mulut bagian dalam padahal baru lima hari ada di rumah. Nadia menangis terus menerus karena pasti mulutnya terasa perih.

Akhirnya kami membawa Nadia ke rumah sakit. Nadia harus dirawat inap agar proses pengobatannya terawasi. Rasanya sedih dan sakit di hati ini melihat bayi mungilku harus tidur di dalam inkubator dengan selang di bagian hidung dan dadanya.

Rasa sakit paska operasi caesar tidaklah seberapa dibandingkan rasa sakit dan pedih melihat kondisi Nadia. Bayi mungil yang masih berusia 12 hari harus dipasangi alat-alat kesehatan dan selang infus.

Siang itu, setelah hari 5 Nadia menjalani perawatan, kami dipanggil oleh dokter Ichsan, dokter anak yang menangani Nadia, ke ruangannya. Dengan perasaan cemas aku dan suamiku masuk ke ruangan doter Ichsan.

"Silakan duduk, Pak, Bu," ujar dokter Ichsan mempersilakan kami duduk di kursi yang ada di depannya. Selanjutnya kami menunggu apa yang akan disampaikan oleh dokter Ichsan.

"Begini, Pak, Ibu, saya harus menyampaikan kondisi Nadia. Kami sedang berusaha untuk memberikan pengobatan sebaik mungkin untuk Nadia. Tim dokter sudah berusaha sebaik-baiknya agar kondisi Nadia membaik. Namun mohon maaf, Bapak dan Ibu harus bersiap jika kondisi Nadia tidak ada perubahan atau justru semakin memburuk." 

Dokter Ichsan sangat berhati-hati menyampaikan berita itu kepada kami. Dia memandangku dengan agak cemas.

"Sebenarnya Nadia sakit apa, Dok?" Mas Danu memandang dokter Ichsan dan mengharapkan penjelasan/

"Begini, Pak, Ibu saya akan menjelaskan apa yang diderita oleh Nadia. Selama di dalam perut ibu, bayi dilindungi oleh air ketuban. Itu sebabnya, jika setelah air ketuban ibu pecah tapi bayi tidak kunjung keluar, maka akan membuat bayi rentan terkena infeksi dalam kandungan. 

Tidak ada lagi yang dapat melindungi bayi dari paparan lingkungan luar, sehingga kuman penyebab infeksi akan mudah masuk. Selain ada infeksi bakteri di saluran pencernaan Nadia, ternyata ada cairan dalam paru-parunya. Hal ini yang menambah kondisi Nadia semakin memburuk."

Penjelasan dokter Ichsan membuat lemas seluruh tubuhku. Kepalaku terasa diputar dengan kecepatan yang sangat tinggi. Kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.

Saat siuman, aku berada di ruang perawatan. Tubuhku terasa lemas dan sulit kugerakan. Aku melihat mas Danu dan anak sulungku sedang berdiri di sampingku. Pelan-pelan aku berusaha duduk.

"Alhamdulillah, Bunda sudah siuman. Hati-hati Bunda," kata Bimo sambil membantuku duduk.

"Bagaimana kondisi Nadia, Yah?" tanyaku sambil memandang mas Danu.

"Nadia dipindahkan ke ruang ICU, Bun. Kondisinya semakin memburuk. Kita harus ikhlas dan sabar, Bunda," ujar suamiku pelan. Dia pasti tidak mau membuatku pingsan lagi. Mas Danu dan Bimo memelukku dan memberikan kekuatan,

Aku terpaksa harus rawat inap karena tubuhku masih lemas. Luka bekas operasi Caesarku terasa sakit sehingga aku tidak boleh bergerak banyak.

Keesokan harinya, selang infus di tanganku sudah bisa dicopot. Aku sudah pulih. Aku memang harus kuat menerima ujian ini.

Kemudian aku meminta mas Danu mengantar ke ruang ICU. Aku ingin menengok Nadia. Tubuh mungilnya dipenuhi oleh kabel dan selang. Di bagian dada ada alat yang dihubungkan dengan EKG. Hidung Nadia dipasangi selang oksigen dan tangannya ditusuk oleh jarum infus.

Aku membacakan surah Yasin dan ayat lima dengan lirih. Aku berusaha menahan tangis. Suster memberiku tempat duduk agar tubuhku tak limbung.

Beberapa saat kemudian, aku melihat grafik di EKG terlihat lurus. Aku berusaha menahan tangisku. Mas Danu yang menunggu di ruang ICU segera membimbingku keluar.

Aku melihat dari balik kaca ruang ICU, suster mencopot kabel-kabel dan selang yang ada di tubuh Nadia. Bimo dan mas Danu memelukku dan menahan tubuhku agar tak pingsan.

"Innalilahi wa inna ilahi rojiun, "gumam Bimo lirih," Sabar, Bunda."

Tangisku pecah saat melihat tubuh Nadia diangkat suster dari atas kasur. Kemudian suster membawa tubuh itu ke ruang jenazah. Aku berusaha tegar dan menahan kepedihanku.

Pergilah bidadari kecilku. Jemputlah bunda dan tuntunlah bunda menuju Jannah-Nya. Bunda ikhlas melepas kepergianmu, sayang. aku menangis sesegukan.

'Maaf, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?" suara seseorang terdengar dari samping kananku. Rupanya pramuniaga cafe tempatku minum.

Aku melihat sekelilingku. Rupanya hari sudah malam. Artinya sudah cukup lama aku duduk dan melamun tadi.

"Oh, tidak ada, Mbak. Terima kasih, ya," jawabku sambil mengusap air mata yang sempat jatuh. Mungkin pramuniaga tadi heran melihatku duduk, melamun dan menangis. Aku terhanyut pada kesedihan yang sudah lama terjadi. Kini aku harus menjaga kandunganku ini agar tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

Aku kemudian berjalan dan melanjutkan tujuanku semula yakni membeli kebutuhan dapur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun